Senin, 13 Februari 2012

SYEKH SITI JENAR BAPAK ILMU HENING JAWA












Bersamaan dengan berkembangnya masa,
kemudian terjadi keelokan dari ilmu laku yang tidak disangka-sangka.
Dikemudian hari pengetahuan pasamaden tadi muncul diterima oleh
kalangan orang Islam, sebab yakin kalau pengetahuan pasamaden tersebut
memang menjadi mustikanya keinginan dan cita-cita yang dapat
mendatangkan keselamatan, kemuliaan, ketenteraman dan hal-hal
semacamnya. Oleh karena itu pengetahuan tadi oleh orang-orang yang
sudah mendapatkan pencerahan batin yaitu Syekh Siti Jenar, yang juga
menjadi pembimbing agama Islam berpangkat wali, kemudian tercantum
didalam karya seratnya, yang kemudian disebut dengan daim, yang berasal
dari kata daiwan yang disebut diatas. Kemudian juga menjadi bagian dari
sarana manembah (penyembahan), sambil diberi tambahan julukannya,
kemudian muncul istilah shalat daim ( shalat bahasa Arab, daim dari kata
daiwan bahasa Sansekerta ). Adapun kemudian ditambahi istilah Arab,
hanya untuk perhatian untuk mengukuhkan keyakinan murid-muridnya yang
sudah meresapi agama Islam. Juga perkataan shalat kemudian terpilah
menjadi dua perkara. Pertama, shalat lima waktu, yang disebut shalat
Syariat, maksudnya adalah panembah lahir. Kedua, shalat daim, itu adalah
panembah batin, maksudnya adalah menekadkan ( meng -I’tikadkan)
manunggalnya pribadi, atau disebut pula loroning atunggal ( dua yang
menyatu [Kawula-Gusti, Ingsun-Gusti] ).


Kitab karangan Syekh Siti Jenar tersebut kemudian digunakan sebagai
pokok pengajaran. Kemudian setelah mendapatkan perhatian orang banyak,
sholat lima waktu dan syara agama yang lain kemudian terpinggir, bahkan
kemudian tidak terajarkan sama sekali. Yang menjadi perhatian hanya
lelaku shalat daim saja. Maka orang jawa yang semula memeluk Islam,
apalagi yang belum, hampir semuanya berguru kepada Syekh Siti Jenar,
karena pengajarannya lebih mudah, jelas, dan nyata.

Sesudah Syekh Siti Jenar mengajarkan pengetahuan pasamaden, sebagai
teman diskusi dan bertukar pikiran adalah Ki Ageng Pengging, yang
kemudian menjadi muridnya, dikarenakan Syekh Siti Jenar adalah mitra
dalam kebaikan dari Ki Ageng Pengging, yang kemudian menjadi muridnya,
dikarenakan Syekh Siti Jenar adalah mitra dalam kebaikan dari Ki Ageng
Pengging. Pengetahuan pasamaden oleh Syekh Siti Jenar juga diajarkan
kepada Raden Watiswara, atau Pangeran Panggung, yang juga berpangkat
wali. Kemudian juga diajarkan kepada Sunan Geseng, atau Ki Cakrajaya,
yang semula bekerja menderas kelapa, (menjadi murid Sunan Kalijaga,
termasuk anggota walisanga yang ikut menyaksikan dihukum matinya Syekh
Siti Jenar, lalu berguru kepada Sunan Panggung). Asalnya dari Pagelen
(Purworejo). Kemudian ajaran tersebut menyebar diamalkan oleh orang
banyak. Demikian juga sahabat-sahabat Syekh Siti Jenar yang sudah
terbuka rasanya oleh Syekh Siti Jenar kemudian mendirikan
perguruan-perguruan pengetahuan pasamaden. Semakin lama semakin
berkembang pesat, sehingga menyuramkan pengaruh dan penguasaan agama
para wali yang sedang giat-giatnya menyerbarkan Islam syara’. Seandainya
gerakan itu dibiarkan oleh para wali, terdapat kekhawatiran masjid
akan kosong.








Pembantaian Terhadap Penganut Ajaran Syekh Siti Jenar


Agar tidak terjadi hal yang demikian, maka Ki Ageng Pengging, Syekh Siti
Jenar serta murid dan sahabatnya dijatuhi hukuman mati dengan
dipenggal lehernya, dengan perintah Sultan Demak. Demikian juga
Pangeran Panggung tidak ketinggalan, dipidana dimasukan kedalam bara
api hidup-hidup di alun-alun Demak, sebagai peringatan agar msyarakat
merasa takut, dan kalau sudah takut mereka mau membuang ajaran Syekh
Siti Jenar. Diceritakan Pangeran Panggung tidak mempan oleh amuk api,
dan kemudian melompat keluar dari dalam api, meninggalkan Demak. Sultan
Bintara dan segenap para wali terbengong-bengong dan terkagum-kagum
serta terpengaruh kewibawaan serta kesaktian Sunan Panggung, hanya
kamitenggengen ( terdiam) seperti tugu. Sesudah sementara waktu,
Pangeran Panggung sudah jauh, Sultan dan para wali baru ingat jika Sunan
Panggung sudah pergi dari tempat pidana, serta merasa kalah. Disertai
dengan banyak prajurit Sunan Geseng atau Ki Cakrajaya pergi menyusul
sunan Panggung. Sultan Demak tidak mampu menahan marah, dan melampiaskan
kemarahannya, sahabat serta murid-murid Syekh Siti Jenar yang bisa
ditangkap dibantai. Dilakukan pengejaran besar-besaran terhadap semua
orang yang dicurigai pernah mengenyam ajaran Syekh Siti Jenar. Sebagian
pengikut yang tidak tertangkap pergi meninggalkan Demak mencari
selamat.

Para sahabat dan murid yang masih hidup, masih tetap melestarikan ajaran
dan eprguruan Syekh siti Jenar tentang pengetahuan pasamaden, tetapi
kemudian dibalut dengan pengajaran syariat Islam, agar tidak diganggu
gugat oleh para wali yang menjadi alat Negara.





Ajaran Pasamaden ( Olah Hening )


Adapun sebagian ajarannya adalah sebagai berikut. Pengajaran pengetahuan
pasamaden yang kemudian disebut shalat daim, dirangkapkan dengan
pengajaran shalat lima waktu serta rukun-rukun Islam yang lain-lainnya.
Pengajaran shalat daim itu disebagian kalangan disebut wiridan
(tarekat) naksyabandiyah, sedangkan lelaku pengajarannya disebut
tafakur. Sebagian ada yang dalam pengajarannya, sebelum murid menerima
pengajaran shalat daim, terlebih dahulu dilatih dengan dzikir dan wirid
membaca ayat-ayat suci. Oleh karena itu pengajaran pasamaden kemudian
terbagi menjadi dua, yaitu :


1. Pengajaran pasamaden atau wewiridan
dari para sabahat Syekh Siti Jenar, yang disertai dengan pengajaran
syara’ rukun agama Islam. Pengajaran tadi sampai sekarang ini sudah
meleset dari ajaran pokok semula, karena itu para guru sekarang, yang
mempraktikan pengetahuan pasamaden, yang diberi nama (tarekat)
naksabandiyah atau Syatariyah mengira bahwa pengetahuan dan wewiridan
tersebut berasal dari ulama di jabalkuber ( Hijaz, Mekkah). Kemudian
para Kiai dan Guru tadi melaksanakan pengetahuan pasamaden menurut
ajaran Jawa yang berasal dari pengajaran Syekh Siti Jenar. Atau juga
para guru dan kiai tadi senang memberikan sebutan Kiniyai, yang
mengandung maksud, guru yang mengajarkan ilmu setan, Sedang nama Kiai,
adalah guru yang mengajarkan ilmu para nabi.


2. Pengajaran pasamaden menurut Jawa,
buah dari Ki Ageng Pengging, yang tadinya dipancarkan dari pengetahuan
Syekh Siti Jenar ( yang kemudian diberikan peraban/sebutan klenik),
yaitu yang semula menjadi pembuka pengajaran, terletak pada pengelolaan
perwatakan lima hal, yaitu:


a. Setya Tuhu ( kesetiaan dan ketaatan) atau temen ( bersungguh-sungguh) dan jujur.


b. Teguh-sentausa, adil dalam segala hal, bertanggung jawab dan tidak berkhianat.


c. Benar dalam segala perilaku dan
perbuatan, sabar dan berbelas kasih kepada sesama, tidak menonjolkan
atau membangga-banggakan diri, jauh dari watak aniaya.


d. Pandai dalam segala pengetahuan,
lebih-lebih pandai dalam membuat enak perasaan sesama, ataupun juga
pandai menahan dan mengendalikan rasa amarah dan jengkelnya perasaan
pribadi, tidak memiliki prinsip melik nggendhong lali ( kalau sudah
punya dan sudah enak lupa akan asalnya ), hanya karena pengaruh harta
benda yang gemerlapan.


e. Susila anor-raga, selalu memelihara
tata karma, mengendalikan akibat penglihatan ( apa yang dilihat ) dan
pengaruh pendengaran ( apa yang didengar ) kepada pihak yang terkena.


Lelaku lima hal tadi harus dilaksanakan beserta iringan puja-brata
dengan melaksanakan laku semedi, yaitu amesu cipta mengheningkan
teropong penglihatan ( mubasyirah ). Oleh karena itu bagi pengamalan
agama Jawa, bab mengenai pengetahuan pasamaden serta lelaku lima perkara
diatas harus diajarkan kepada semua orang, tua muda tanpa memilih
rendah tingginya derajat orang. Karena itu dengan sebab mustikanya
pengetahuan atau luhur-luhurnya kemanusiaan, ini apalagi tetap
semedi-nya, mampu menjalankan lima hal yang sudah disebutkan diatas.
Oleh karena kita tinggal disuasana ketentraman, sedangkan keadaan
tentram menyebabkan makmur-sejahtera dan kemerdekaan kita bersama. Kalau
tidak demikian, sampai rusaknya dunia, kita akan tetap menanggung
derita, papa dan terhina, tergilas oleh roda perputaran dunia, karena
kesalahan dan terkhianati oleh perasaan kita pribadi.





Ajaran Pasamaden ( Olah Hening )


Adapun sebagian ajarannya adalah sebagai berikut. Pengajaran pengetahuan
pasamaden yang kemudian disebut shalat daim, dirangkapkan dengan
pengajaran shalat lima waktu serta rukun-rukun Islam yang lain-lainnya.
Pengajaran shalat daim itu disebagian kalangan disebut wiridan
(tarekat) naksyabandiyah, sedangkan lelaku pengajarannya disebut
tafakur. Sebagian ada yang dalam pengajarannya, sebelum murid menerima
pengajaran shalat daim, terlebih dahulu dilatih dengan dzikir dan wirid
membaca ayat-ayat suci. Oleh karena itu pengajaran pasamaden kemudian
terbagi menjadi dua, yaitu :


1. Pengajaran pasamaden atau wewiridan
dari para sabahat Syekh Siti Jenar, yang disertai dengan pengajaran
syara’ rukun agama Islam. Pengajaran tadi sampai sekarang ini sudah
meleset dari ajaran pokok semula, karena itu para guru sekarang, yang
mempraktikan pengetahuan pasamaden, yang diberi nama (tarekat)
naksabandiyah atau Syatariyah mengira bahwa pengetahuan dan wewiridan
tersebut berasal dari ulama di jabalkuber ( Hijaz, Mekkah). Kemudian
para Kiai dan Guru tadi melaksanakan pengetahuan pasamaden menurut
ajaran Jawa yang berasal dari pengajaran Syekh Siti Jenar. Atau juga
para guru dan kiai tadi senang memberikan sebutan Kiniyai, yang
mengandung maksud, guru yang mengajarkan ilmu setan, Sedang nama Kiai,
adalah guru yang mengajarkan ilmu para nabi.





2. Pengajaran pasamaden menurut Jawa,
buah dari Ki Ageng Pengging, yang tadinya dipancarkan dari pengetahuan
Syekh Siti Jenar ( yang kemudian diberikan peraban/sebutan klenik),
yaitu yang semula menjadi pembuka pengajaran, terletak pada pengelolaan
perwatakan lima hal, yaitu:


a. Setya Tuhu ( kesetiaan dan ketaatan) atau temen ( bersungguh-sungguh) dan jujur.


b. Teguh-sentausa, adil dalam segala hal, bertanggung jawab dan tidak berkhianat.


c. Benar dalam segala perilaku dan
perbuatan, sabar dan berbelas kasih kepada sesama, tidak menonjolkan
atau membangga-banggakan diri, jauh dari watak aniaya.


d. Pandai dalam segala pengetahuan,
lebih-lebih pandai dalam membuat enak perasaan sesama, ataupun juga
pandai menahan dan mengendalikan rasa amarah dan jengkelnya perasaan
pribadi, tidak memiliki prinsip melik nggendhong lali ( kalau sudah
punya dan sudah enak lupa akan asalnya ), hanya karena pengaruh harta
benda yang gemerlapan.


e. Susila anor-raga, selalu memelihara
tata karma, mengendalikan akibat penglihatan ( apa yang dilihat ) dan
pengaruh pendengaran ( apa yang didengar ) kepada pihak yang terkena.


Lelaku lima hal tadi harus dilaksanakan beserta iringan puja-brata
dengan melaksanakan laku semedi, yaitu amesu cipta mengheningkan
teropong penglihatan ( mubasyirah ). Oleh karena itu bagi pengamalan
agama Jawa, bab mengenai pengetahuan pasamaden serta lelaku lima perkara
diatas harus diajarkan kepada semua orang, tua muda tanpa memilih
rendah tingginya derajat orang. Karena itu dengan sebab mustikanya
pengetahuan atau luhur-luhurnya kemanusiaan, ini apalagi tetap
semedi-nya, mampu menjalankan lima hal yang sudah disebutkan diatas.
Oleh karena kita tinggal disuasana ketentraman, sedangkan keadaan
tentram menyebabkan makmur-sejahtera dan kemerdekaan kita bersama. Kalau
tidak demikian, sampai rusaknya dunia, kita akan tetap menanggung
derita, papa dan terhina, tergilas oleh roda perputaran dunia, karena
kesalahan dan terkhianati oleh perasaan kita pribadi.





Praktik Ilmu Hening Cara Jawa dan Ilmu Kasunyatan


Bab pengetahuan pasamaden yang kemudian disebut Naksyabandiyah dan
Syatariyah, yang kemudian disebutkan sebagai wewiridan dari Syekh Siti
Jenar, sudah dijelaskan diatas, hanya saja aplikasinya tidak dijelaskan
secara rinci. Disini hanya akan menjelaskan lelaku aplikatif terhadap
semedi secara Jawa, yang belum terpengaruh oleh agama apapun, yaitu
seperti dibawah ini.


Para pembaca, agar jangan keliru atau salah terima, apabila ada anggapan
bahwa semedi ini menghilangkan rahsanya hidup atau nyawa ( hidupnya )
keluar dari badan wadag. Penerimaan seperti itu, pada mulanya berasal
dari cerita perjalanan Sri Kresna di Dwarawati, atau sang Arjuna ketika
angraga-sukma. Agar diperhatikan, bahwa cerita seperti itu tetap hanya
sebagai persemuan atau perlambang (symbol, bukan hal atau cerita yang
sebenarnya). Adapun uraian mengenai lelaku semedi sebagai berikut.
Istilah semedi sama dengan sarasa, yaitu rasa-tunggal, maligini rasa
(berbaur berjalannya rasa), rasa jati, rasa ketika belum mengerti.
Adapun matangnya perilaku atau pengolahan (makarti) rasa disebabkan dari
pengelolaan atau pengajaran, ataupun pengalaman-pengalaman yang
terterima atau tersandang pada kehidupan keseharian. Olah rasa itulah
yang disebut pikir, muncul akibat kekuatan pengelolaan, pengajaran atau
pengalaman tadi. Pikir lalu memiliki anggapan baik dan jelek, kemudian
memunculkan tata-cara, penampilan dan sebagainya yang kemudian menjadi
kebiasaan (pakulinan /adat ). Apapun anggapan baik-buruk, yang sudah
menjadi tata cara disebabkan telah menjadi kebiasaan itu, kalau buruk,
ya betul-betul buruk, dan kalau baik, ya memang baik sesungguhnya. Dan
itu semua belum tentu, karena semua itu hanyalah kebiasaan anggapan.
Adapun anggapan (penganggep), belum pasti, tetap hanya menempati
kebiasaan tata cara (adat), jadi ya bukan kesejatian dan bukan kenyataan
(real).


Apa yang dimaksudkan semedi disini, tidak ada lain kecuali hanya untuk
mengetahui kesejatian dan kasunyatan. Adapun sarananya tidak ada lagi
kecuali hanya mengetahui atau menyilahkan anggapan dari perilaku rasa,
yang disebut hilang-musnahnya papan dan tulis. Ya disitu itu tempat
beradanya rasa-jati yang nyata, yang pasti, yang melihat tanpa
ditunjukan (weruh tanpa tuduh). Adapun terlaksananya harus mengendalikan
segala sesuatunya ( hawa nafsu dan amarah ), disertai dengan membatasi
dan mengendalikan perilaku (perbuatan anggota badan). Pengendalian
anggota tadi, yang lebih tepat adalah dengan tidur terlentang, disertai
dengan sidhakep (tangan dilipat didada seperti takbiratul ihram, atau
seperti orang meninggal) atau tangan lurus kebawah, telapak tangan kiri
kanan menempel pada paha kiri kanan, kaki lurus, telapak kaki yang
kanan menumpang pada tapak kaki kiri. Maka hal itu kemduian disebut
dengan sidhakep suku(saluku) tunggal. Ataupun juga dengan mengendalikan
gerakan mata, yaitu yang disebut meleng. Lelaku seperti itu dilakukan
bagi yang kuasa mengendalikan gerak-bisik cipta (gagasan, ide, olah
pikir), serta mengikuti arus aliran rahsa, adapun pancer-nya (arah
pusat) penglihatan diarahkan dengan memandang pucuk hidung, keluar dari
antara kedua mata, yaitu di papasu, adapun penglihatannya dilakukan
harus dengan memejamkan kedua mata.


Selanjutnya adalah menata keluar masuknya napas, seperti berikut, Napas
ditarik dari arah pusar, digiring naik melebihi pucuk tenggorokan
hingga sampai di suhunan (ubun-ubun), kemudian ditahan beberapa saat.
Proses penggiringan atau pengaliran napas tapi ibarat memiliki rasa
mengangkat apapun, adapun kesungguhannya seperti yang kita angkat, itu
adalah mengalirnya rasa yang kita pepet dari penggiringan nafas tadi.
Kalau sudah terasa berat penyanggaan ( penahanan) napas, kemudian
diturunkan secara pelan-pelan. Lelaku seperti itu yang disebut
sastra-cetha. Maksudnya sastra adalah tajamnya pengetahuan, cetha
adalah mantapnya suara dipita suara (cethak), yaitu cethak (diujung
dalam dari lidah) mulut kita. Maka disebut demikian, ketika kita
melaksanakan proses penggiringan napas melebihi dada kemudian naik lagi
melebihi cethak hingga sampai ubun-ubun. Kalau napas kita tidak
dikendalikan, jadi kalau hanya menurutkan jalannya napas sendiri, tentu
tidak bisa sampai di ubun-ubun, sebab kalau sudah sampai tenggorokan
langsung turun lagi.


Apalagi yang disebut daiwan ( dawan ), yang memiliki maksud :
mengendalikan keluar masuknya napas yang panjang lagipula disertai
dengan sareh (kesadaran penuh dan utuh), serta mengucapkan mantra yang
diucapkan dalam batin, yaitu ucapan “hu” disertai dengan masuknya napas,
yaitu penarikan napas dari pusar naik sampai ubun-ubun. Kemudian “Ya”
disertai dengan keluarnya nafas, yaitu turunnya nafas dari ubun-ubun
sampai pada pusar; naik turunnnya nafas tadi melebihi dada dan cethak
(pita suara). Adapun hal itu disebut sastra – cetha. Karena ketika
mengucapkan dua mantra sastra: “hu-ya”, keluarnya suara hanya dibatin
saja, juga kelihatan dari kekuatan cethak (tenggorokan). (Ucapan dan
bunyi mantra atau dua penyebutan ; “hu-ya” pada wirid Naksyabandiyah
berubah menjadi ucapan; “hu-Allah”, penyebutannya juga disertai dengan
perjalanan nafas. Adapun wiridan Syatariyah, penyebutan tadi berbunyi; [
la illaha illa Allah], tetapi tanpa pengendalian perjalanan nafas.)


Untuk masuk keluarnya nafas seperti tersebut diatas, satu angkatan hanya
mampu mengulangi tiga kali ulang, walau demikian, karena nafas kita
sudah tidak sampai kuat melakukan lagi, karena sudah berat rasanya (
menggeh-menggeh / ngos-ngosan ). Adapun kalau sudah sareh
(sadar-normal), ya bisa dilaksanakan lagi, demikian seterusnya sampai
merambah semampunya, karena semakin kuat tahan lama, semakin lebih baik.
Adapun setiap satu angkatan lelaku tadi disebut tripandurat, maksudnya
tri = tiga, pandu = Suci, rat = Jagat = Badan = Tempat. Maksudnya
adalah tiga kali nafas kita dapat menghampiri jagat besar Yang Maha
Suci bertempat didalam suhunan ( yang dimintai ). Yaitulah yang
dibahasakan dengan pawirong kawulo Gusti, maksudnya kalau nafas kita
pas naik, kita berketempatan Gusti, dan ketika turun, kembali menjadi
kawula. Tentang masalah ini, para pembaca hendaklah jangan salah
terima! Adapun maksud disebutnya kawula-Gusti, itu bukanlah nafas kita,
akan tetapi daya ( kekuatan ) cipta kita. Jadi olah semedi itu,
pokoknya kita harus menerapkan secara konsisten, membiasakan selalu
melaksanakan keluar-masuk dan naik-turunnya nafas, disertai dengan
mengheningkan penglihatan, sebab pengliahatan itu terjadi dari rahsa.


















silahkan anda Copy paste artikel diatas
tapi kalau anda tidak keberatan mohon cantumkan sumber dengan linkback ke blog ini.
terimakasih....!!!

0 komentar:

Posting Komentar