Kamis, 16 Februari 2012

Sepasang Buaya Jelmaan Bidadari Menjaga Kawah Gunung Kelud


Desa Sugihwaras merupakan perkampungan penduduk yang paling dekat dengan
lereng Gunung Kelud. Warga desa ini memiliki warisan kebudayaan
tersendiri yakni  mempersembahkan sesaji di kaki anak gunung.
Persembahan sesaji ini sebagai simbol rasa terima kasih kepada Tuhan
Yang Maha Esa.

“Sejak dahulu, setiap tahun, warga di sini selalu mempersembahkan sesaji
di tepi kawah. Tapi, setelah dari kawah muncul anak gunung,
persembahannya sesaji dipindah ke kaki anak gunung. Tujuan kita memohon
kepada Tuhan Yang Maha Esa, supaya warga desa terhindar dari malapetaka,
makmur, dan tetap hidup rukun,” ungkap Sinto, salah seorang sesepuh
desa yang ditemui Misteri.

Sementara itu, menurut keterangan juru kunci Gunung Kelud,  Mbah Ronggo,
“Syarat utama, larung sesaji ke kawah itu harus ada cok bakal dan
jenang sengkala. Itu wajib!”

Apa yang terjadi jika syarat ini dilanggar? Seperti yang berlaku pada
2007 silam. Kala itu  larung sesaji kurang lengkap. Alhasil, ritual
sesaji yang dilakukan itu nyaris saja membawa bencana. Terlebih lagi
ritual dilakukan di bulan Ruwah menurut kalender Jawa. Padahal, menurut
perhitungan Mbah Ronggo, bulan Ruwah kurang baik untuk larung sesaji.
Lebih bagus lagi, kalau dilaksanakan di bulan Suro. Tapi, ketika itu
Mbah Ronggo hanya diam saja. Karena ia memang tidak diajak musyawarah
oleh pihak panitia. Maka supaya lebih sempurna lagi, Mbah Ronggo terus
melaksanakan selamatan lagi di tepi kawah, tujuannya untuk melengkapi
supaya lebih sempurna.

Untuk meredam amuk Gunung Kelud ketika itu, tak kurang dari 25
paranormal yang berada di sekitarnya menggelar ritual di sekitar danau
kawah untuk meminta agar bencana letusan gunung api tidak terjadi.

Sebagai salah satu gunung berapi yang masih aktif di Jawa, Gunung Kelud
memang masih menyimpan misteri. Seperti Merapi yang bertengger di ujung
utara Yogyakarta, Kelud di Jawa Timur juga sering kurda. Kalau sedang
mengamuk, juga amat ganas.

Gunung Kelud berada sekitar 35 kilometer dari Kediri. Kalau ditempuh
dari Blitar, jaraknya lebih kurang 24 kilometer. Di puncak Kelud,
terdapat danau kawah, volumenya mencapai jutaan meter kubik. Punggung
Kelud, merupakan daerah pertanian yang subur. Berupa perkebunan dan jadi
lahan produksi tanaman pangan bagi penduduk di sekitarnya.

Meski sehari-hari tampak tenang dan damai, setiap saat wilayah itu
mungkin sekali tiba-tiba bisa menjadi wilayah yang mengerikan. Yakni
ketika Kelud mengamuk. Uniknya, Kelud biasa meletus pada malam hari.

Yang tak kalah unik, sebelum meletus, Kelud selalu memberi tanda dengan
suara gemuruh lebih dulu. Kemudian melontarkan berbagai material yang
panasnya bisa mencapai 300 hingga 500 derajat Celcius. Daya rusaknya
juga amat dahsyat seperti mengamuknya ‘wedhus gembel’ Merapi.
Meluluhlantakkan daerah sekitarnya dan bisa merenggut banyak korban
jiwa.

Sejak tahun 1000 Kelud telah meletus sebanyak 23 kali. Interval
letusannya rata-rata berlangsung setiap 15 tahun sekali. Paling pendek 3
tahun, berlangsung pada tahun 1848, kemudian disusul pada 1851. Tapi
Kelud pernah bersikap manis selama sekitar 37 tahun. Selama itu, ‘sakit
batuk’ pun belum pernah. Apalagi sampai ‘muntah berat’. Hal ini
berlangsung pada 1864 hingga 1901.

Entah apa yang membuat Kelud selama 37 tahun tak pernah sakit-sakitan.
Barangkali para ‘penunggunya’ merasa enjoy karena warga sekitarnya rutin
mengirim ‘makanan kesehatan’ berupa berbagai jenis sesaji, seperti yang
kerap dilakukan oleh warga desa Sugihwaras tersebut.

Menurut catatan, sudah sebanyak 3 kali Kelud sempat ngamuk berat. Yakni
pada tahun  1919, 1951 dan 1966. Uniknya, kalau direka-reka, angka tahun
meletusnya itu amat menarik, yakni selalu mengiringi peristiwa besar
yang terjadi di Tanah Jawa (Baca juga: Indonesia-Pen). Misalkan saja,
letusan 1951, seolah menandai Pemberontakan Madiun. Kemudian ledakan
pada 1966, terjadi setahun setelah terjadinya G30S/ PKI. Pada tiga
ledakan itu, material yang dimuntahkan meluncur ke bawah melalui Kali
Badak, Kali Ngobo, Kali Putih, Kali Semut dan Kali Ngoto.

Nama Gunung Kelud berasal dari Jarwodhosok, yakni dari kata “ke” (kebak)
dan “lud” (ludira). Hal ini berarti bila murka, bisa merenggut banyak
kurban jiwa tak berdosa. Menurut kepercayaan penduduk sekitar, kawah
gunung ini dijaga sepasang buaya putih, yang konon merupakan jelmaan
bidadari.

Legenda menceritakan, zaman dahulu kala ada dua bidadari sedang mandi di
telaga tersebut. Karena terlena, dua bidadari ini melakukan perbuatan
seperti yang biasa terjadi pada manusia modern, yakni berbuat intim
dengan sesama jenis. Jadi, kedua bidadari itu tergolong penganut
lesbian.

Perbuatan tersebut rupanya diketahui oleh dewa. Karena kesal, sang dewa
pun mengutuk kedua bidadari tersebut, “Kelakuan kalian mirip buaya.”

Karena dewa memang penguasa jagad, kata-katanya yang ampuh itu membuat
dua bidadari tersebut seketika berubah menjadi dua ekor buaya. Konon,
hingga kini mereka menjadi penunggu danau Gunung Kelud.

Letusan Kelud pada 1586 menelan korban hingga 10 ribu orang meninggal.
Pada letusan 19 Mei 1919 memakan korban 5.110 jiwa. Sedang letusan 26
April 1966 menelan korban jiwa 212 meninggal, 74 hilang dan 89
luka-luka.

Menurut sesepuh desa di sekitar gunung ini, para korban itu sedang
dikersakke dua bidadari penunggu kawah. Bila laki-laki diperlakukan
sebagai suami dan yang perempuan diangkat sebagai saudara.

Warga menengarai, bila Kelud akan meletus biasanya ada dua sorot sinar
terang masuk ke kawah. Atau banyak burung gagak berterbangan di
pedesaan.

Ketika Misteri berkunjung ke gunung ini beberapa waktu lalu, Misteri
bertemu dengan seorang pria tua yang tengah duduk bersila dengan
komat-kamit membaca doa. Tempatnya bersila masih di tepi anak gunung,
sepi, karena memang tidak termasuk tempat tujuan wisatawan.

Pria ini mengaku berasal dari Yogyakarta, dan tidak mau menyebutkan
namanya. Katanya dia sering ke tepi anak gunung ketika masih berwujud
kawah dengan tujuan ngalap berkah. Disamping itu, dia juga mengaku sudah
melihat tanda-tanda akan terjadi bencana besar di Jawa Timur.
Mungkinkah itu berkait dengan letusan Gunung Kelud? Ditanyakan hal ini,
pria berwajah bersih itu hanya tersenyum penuh makna.

Bagi yang percaya, memang banyak cara untuk ngalap berkah di gunung ini.
Setiap tahunan sekali, Bupati Blitar juga rutin ke sana. Hal ini
termasuk tradisi yang dilakukan sejak dulu, sepertinya rasanya kurang
enak kalau setiap tahun tidak ke Gunung Kelud.















silahkan anda Copy paste artikel diatas
tapi kalau anda tidak keberatan mohon cantumkan sumber dengan linkback ke blog ini.
terimakasih....!!!

0 komentar:

Posting Komentar