Senin, 16 Januari 2012

TUNGGAL RASA KAWULA GUSTI




UNSUR PEMBENTUK DIRI MANUSIA


Sajatine Ingsun Dat kang amurba amisesa,

kang kuwasa anitahake sawiji-wiji,

dadi padha sanalika,

sampurna saka ing kodrating-Sun,

ing kono wus kanyatahan Pratandhaning apngaling-Sun,

minangka bubukaning iradating-Sun,

kang dhingin Ingsun anitahake kayu,

aran sajaratul yakin,

tumuwuh ing sajroning ngalam

ngadam-makdum ajali abadi,

nuli cahya aran Nur Muhammad,

nuli kaca aran miratul kayai,

nuli nyawa aran roh ilapi,

nuli dammar aran kandil,

nuli sosotya aran darrah,

nuli dhinding jalal aran kijab,

kang minangka warananing kalarating-Sun


(Sesungguhnya Aku Dzat yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa,

yang berkuasa menciptakan sesuatu, terjadi dalam seketika,

sempurna lantaran kodratku, sebagai pertanda perbuatan-Ku,

merupakan kenyataan kehendak-Ku, Mula-mula Aku menciptakan

hayyu bernama sajaratul yakin, tumbuh dalam alam makdum yang azali
abadi, setelah itu cahaya bernama Nur Muhammad, kemudian kaca bernama
miratul kayai, selanjutnya nyawa bernama roh idlafi, lampu bernama
kandil, lalu permata bernama dharrah, kemudian dinding jalal bernama
hijab, yang menjadi penutup kehadirat-Ku.)


Dalam Serat Wirid Hidayat Jati karya
Ranggawarsita tersebut, termuat urutan kejadian Dzat dan Sifat dan
Af’al (perbuatan) Tuhan. Yang dimaksud dengan AKU atau INGSUN dalam
serat itu tidak lain adalah diri Dzat yang Mutlak. AKU sang Diri
Sejati itu mulanya “tersembunyi” atau dumunung di Nukat Ghaib. Nukat
artinya Wiji sedangkan Ghaib artinya samar. AKU atau INGSUN kemudian
berniat menyatakan diri sebagai PENCIPTA SEGALA SESUATU.


“Niat Ingsun….” begitu doa orang Jawa
biasa diucapkan adalah meniru apa yang disampaikan Tuhan untuk memulai
proses-proses penciptaan. Akhirnya dimulailah ketujuh pangkat
penjelmaan Dzat (tujuh martabat) yang disimbolisasikan ke dalam
khasanah Jawa dengan Pohon Dunia, Cahaya, Cermin, Wajawa (roh Idhafi),
Dian (kandil), permata (dharrah), dinding jalal (penjelmaan insan
kamil).


Keberadaan Dzat Tuhan itu ibarat CERMIN
YANG AMAT JERNIH atau KACAWIRANGI. Yaitu DIRI yang diliputi kekosongan
yang berisi TYAS CIPTA HENING. Cermin itu tidak ada bandingannya, tidak
punya rupa, warna, kosong tidak ada apa-apanya. Namun adalah kesalahan
bahwa kekosongan Dzat Tuhan adalah TIDAK ADA, sebab CERMIN itu TETAP
ADA.


Ki Soedjonoredjo penulis buku Wewadining Rasa mengatakan kesalahan anggapan bahwa TUHAN ITU TIDAK ADA, sebagai berikut: Mbok
menawa ana sawenehing manungso kang kliru ora percaya marang anane
kang murbeng alam. Dadi ananing dhirine lan anane kang gumelar
gumandhul karang kabeh, kaanggep gumandul marang suwung kang mangkono
iku umpamakna nganggep suwung marang warna rupaning kaca benggela,
satemah kaca benggala dipadhakake karo kothongan kang pancen suwung
babar pisan. Apa iku bener
?”


Wujud cermin sejati atau kacawirangi
adalah “wangwung”, tidak ada apa-apa. Pantas bila orang lalu
menganggapnya tidak ada sebab cermin itu terlihat begitu jernih,
seperti tidak adanya rupa apapun. Tapi cermin itu tetap ada. CERMIN
SEJATI ITU SATU TAPI TIDAK TERHINGGA JENIS DAN BILANGANNYA.


Orang yang hubungan MIKROKOSMOS dan
MAKROKOSMOS nya masih kacau cenderung menganggap cermin itu tidak ada.
Padahal, Hakikat Cermin adalah daya tunggal getar kodrat yang harmonis.
Semua yang tunggal daya juga tunggal rasa. Misalnya daya tunggal yang
disebut pengelihatan, itu tidak sama dengan dengan pendengaran. Daya
tunggal-daya tunggal yang tiada batas jenis dan bilangannya itu
dibingkai oleh keadaan sejati.


Di dalam buku Dewa Ruci (Yasadipura) terdapat inti ajaran mengenai “cermin” tersebut di atas sebagai berikut:
“Badan njaba wujud kita iki, badan njero mungguwing jroing kaca,
ananging dudu pangilon, pangilon jroning kalbu yeku wujud kita pribadi,
cumithak jro panyipta, ngeremken pandudu, luwih gedhe barkahira, lamun
janma wus gambuh ing badan batin, sasat srisa bathara”


Kisah Dewaruci ini adalah inti Sangkan
Paraning Dumadi, sekaligus sebagai pengungkapan ajaran Kawulo Gusti
sampai kepada jarak yang sedekat-dekatnya yang dikenal sebagai PAMORING
KAWULO GUSTI atau JUMBUHING KAWULO GUSTI. Ajaran tentang sangkan
paraning dumadi yang dilaksanakan sebagai pedoman hidup praktis
sehari-hari, sebagaimana yang terungkap dalam buku Jati Murti itu
merupakan ajaran yang mudah dipahami. Sisi praktisnya terungkap dalam
pernyataan yang sering disampaikan oleh Ki Damardjati Supadjar:


“Ora perlu kabotan tresna marang
daden-daden, tresnaa marang sing dadi. Nanging aja gething marang
daden-daden, sebab ing kono ana sing dadi”


Pernyataan ini, kata Ki Damardjati,
menjelaskan hubungan antara KEJADIAN dan YANG MENJADIKAN, atau YANG
DIRASA dengan YANG MERASA. Yang menghubungkan keduanya adalah RASA.
Alam semesta ini adalah yang dirasakan, bukan rasa atau yang merasakan.
Yang digunakan untuk merasa ialah rasa bukan yang dirasakan atau yang
merasakan. Jadi, kenyataan sejati itu bukan yang dirasakan atau bukan
yang dipergunakan untuk merasa, melainkan yang merasa. Yang dirasa
disebut MAKROKOSMOS, yang dipakai merasa disebut MIKROKOSMOS. Yang
merasa disebut KENYATAAN SEJATI.


Di dalam hubungan ini, ada tiga
kemungkinan pengalaman yaitu LUPA, INGAT dan INGATAN SEMPURNA. Lupa =
larut ke yang dirasakan, tidak memperhatikan rasanya, apalagi yang
merasa. Ingat = waspada tentang rasa, tidak larut ke yang dirasakan.
Ingatan sempurna = waspada terhadap yang merasa, tidak larut ke rasanya
apalagi yang dirasakan.


Dalam filsafat ketuhanan Jawa, hubungan
Manusia dan Tuhan (Kawulo-Gusti) memiliki makna sangat mendalam.
Manusia harus merasakan benar-benar bahwa dirinya adalah hamba-Nya atau
KUMAWULA yang artinya dirinya merupakan cermin yang sejati, sehingga
Tuhan dan bayangan-Nya sungguh-sungguh tidak terhalang oleh kotoran
sedikitpun. Hal ini ditandai oleh koreksi terus menerus atas diri “aku”
manusia sehingga mencapai kualitas PRAMANA.


Diungkapkan oleh Ki Damardjati, ketika
rasa perasaan belum jernih, adalah rasa perasaan itu yang dianggap
PRIBADI oleh si rasa perasaan. Artinya si rasa perasaan mengaku aku
supaya dianggap: AKU. Jadi rasa perasaan manusia itu ternyata memang
tidak bisa melihat yang meliputinya. Jadi dalam perbuatan MERASA,
bahkan menghalang halangi. Karenanya, dapatnya manusia melihat
terhadap yang meliputinya, tidak ada jalan lain kecuali TIDAK dengan
MERASA, yaitu RASA PERASAAN KEMBALI KEPADA YANG MELIPUTI (Pribadi/Rasa
Sejati). Apabila sudah tidak terhalang daya rasa perasaan, maka hanya
PRIBADI yang ADA, disitulah baru mengetahui terhadapi DIA, yaitu yang
MEMILIKI RASA PERASAAN, bukan RASA PERASAAN YANG DIPUNYAI.


Sultan Agung menerangkan perbedaan antara
Kawulo Gusti dengan perantaraan 16 terminologi yang memperjelas
hubungan antara Gusti (YANG DISEMBAH) dan Kawulo (YANG MENYEMBAH)
sebagai berikut: Dzat-sifat, Rasa-pangrasa, Cipta-ripta, Yang
disembah-yang menyembah, Kodrat-iradat, Qadim-baru, Sastra-gendhing,
Yang Bercermin-bayangannya, Suara-gema, Lautan-ikan,
Pradangga-gendhingnya, Papan Tulis-tulisannya, Manikmaya-Hyang Guru,
Dalang-wayang, Busur-anak panah, Wisnu-kresna.


Dalam konteks pencapaian pribadi manusia
tertinggi atau “pamungkasing dumadi” atau “sampurnaning patrap” adalah
LULUHING DIRI PRIBADI, LULUHING RAOS AKU. Itulah pamungkasing dumadi,
di situ lenyap tabir kenyataan yang sebenarnya.


Manusia yang sempurna dengan demikian
adalah manusia yang luluhnya “aku” yang “diengkaukan” (krodomongso)
digantikan dengan “aku” yang tidak mungkin diengkaukan (dudu kowe).


Hubungan antara Kawulo-Gusti ini, akan ditutup dengan pernyataan Ranggawarsita: “Sakamantyan
denira angudi, widadaning ingkang saniskara, karana tan kena mleset,
surasaning kang ngelmu, nora kena madayeng jangji, jangjine mung
sapisan, purihen den kumpul, gusti kalawan kawula, supadine dinadak bisa
umanjing, satu munggwing rimbagan”
(Upaya untuk mencapai
pemahaman haruslah terus menerus sepanjang hidup, agar tercapai
keselamatan lahir-batin, yaitu KESESUAIAN HUKUM TUHAN, sebagai suatu
janji, bahwa MANUSIA ITU WUJUD PERTEMUAN KAWULA GUSTI, artinya WAKIL
TUHAN, sedemikian rupa seperti cincin permata).


Sebagai Wakil Tuhan di alam semesta,
manusia telah diberi berbagai perangkat lunak sehingga dia bisa
berhubungan secara langsung dan berkomunikasi dengan Tuhan sebagai GURU
PALING SEJATI MANUSIA. Dalam Wirid Hidayat Jati dipaparkan ada tujuh
unsur pokok penyusun diri manusia itu:


1. Hayyu (hidup) = disebut ATMA, terletak di luar DZAT

2. Nur (cahaya) = disebut PRANAWA terletak di luar Hayyu

3. Sir (Rahsa) = disebut PRAMANA terletak di luar Nur

4. Roh (Nyawa) = disebut Suksma, terletak diluar Rahsa

5. Nafs (Angkara) = letaknya di luar suksma

6. Akal (budi) =letaknya diluar nafsu

7. Jasad (badan) = letaknya di luar budi.


Keterangan: Ada keterpaduan antara unsur di atas yaitu:

• Suksma wahya = patemoning jasad lan napas

• Suksma dyatmika = patemoning napas lan budi

• Suksma lana = patemoning budi lan napsu

• Suksma mulya = patemoning napsu lan nyawa

• Suksma sajati =patemoning nyawa lan rahsa

• Suksma wasesa = patemoning rahsa lan cahya

• Suksma kawekas = patemoning cahya lan urip


Penutup:

Terdapat kesulitan memahami hakekat hubungan antara Kawulo-Gusti dalam
jagad filsafat ketuhanan Jawa bila kita hanya membaca dengan kemampuan
akal budi. Dalam ajaran Jawa, kita diajari untuk melakukan praktik
mistik dengan kepercayaan yang benar-benar penuh sehingga terwujud
harmoni dan kesatuan dengan tujuan kosmos. Ini akan membuahkan
kondisi-kondisi fisik dan metafisik yang bermanfaat bagi kita semua.
Tuhan bersemayam di unsur terdalam pada diri manusia sehingga “Kenalilah
diri sendiri, maka kau akan mengenal Tuhanmu.”



0 komentar:

Posting Komentar