Ajaran Syekh Siti Jenar menurut Ki Lonthang Semarang
“Kalau menurut wejangan guru saya, orang
sembahyang itu siang malam tiada putusnya ia lakukan. Hai Bonang
ketahuilah keluarnya napasku menjadi puji. Maksudnya napasku menjadi
shalat. Karena tutur penglihatan dan pendengaran disuruh melepaskan
dari angan-angan, jadi kalau kamu shalat masih mengiaskan kelanggengan
dalam alam kematian ini, maka sesungguhnyalah kamu ini orang kafir.”
“Jika kamu bijaksana mengatur tindakanmu,
tanpa guna orang menyembah Rabbu’l ‘alamien, Tuhan sekalian alam,
sebab di dunia ini tidak ada Hyang Agung. Karena orang melekat pada
bangkai, meskipun dicat dilapisi emas, akhirnya membusuk juga, hancur
lebur bercampur dengan tanah. Bagaimana saya dapat bersolek?”
“Menurut wejangan Syekh Siti Jenar, orang
sembahyang tidak memperoleh apa-apa, baik di sana, maupun di sini.
Nyatanya kalau ia sakit, ia menjadi bingung. Jika tidur seperti budak,
disembarang tempat. Jika ia miskin, mohon agar menjadi kaya dikabulkan.
Apalagi bila ia sakaratul maut, matanya membelalak tiada kerohan.
Karena ia segan meninggalkan dunia ini. Demikianlah wejangan guru saya
yang bijaksana.”
“Umumnya santri dungu, hanya berdzikir
dalam keadaan kosong dari kenyataan yang sesungguhnya, membayangkan
adanya rupa Zat u’llahu, kemudian ada rupa dan inilah yang ia anggap
Hyang Widi.”
“Apakah ini bukan barang sesat? Buktinya
kalau ia memohon untuk menjadi orang kaya tidak diluluskan. Sekalipun
demikian saya disuruh meluhurkan Dzat’llahu yang rupanya ia lihat waktu
ia berdzikir, mengikuti syara’ sebagai syari’at, jika Jum’at ke mesjid
berlenggang mengangguk-angguk, memuji Pangeran yang sunyi senyap,
bukan yang di sana, bukan yang di sini.”
“Saya disuruh makbudullah, meluhurkan
Tuhan itu, serta akan ditipu diangkat menjadi Wali, berkeliling menjual
tutur, sambil mencari nasi gurih dengan lauknya ayam betina berbulu
putih yang dimasak bumbu rujak pada selamatan meluhurkan Rasulullah. Ia
makan sangat lahap, meskipun lagaknya seperti orang yang tidak suka
makan. Hal itulah gambaran raja penipu!” “Bonang, jangan berbuat yang
demikian. Ketahuilah dunia ini alam kematian, sedang akhirat alam
kehidupan yang langgeng tiada mengenal waktu. Barang siapa senang pada
alam kematian ini, ia terjerat goda, terlekat pada surga dan neraka,
menemui panas, sedih, haus, dan lapar”. (Serat Syaikh Siti Jenar, Ki
Sastrawijaya, Pupuh XI Pangkur, 9-20).
“Tiada usah merasa enggan menerima
petuahku yang tiga buah jumlahnya. Pertama janganlah hendaknya kamu
menjalankan penipuan yang keterlaluan, agar supaya kamu tidak
ditertawakan orang di kelak kemudian hari. Yang kedua, jangan kamu
merusak barang-barang peninggalan purba, misalnya : lontar naskah
sastra yang indah-indah, tulisan dan gambar-gambar pada batu candhi.
Demikian pula kayu dan batu yang merupakan peninggalan kebudayaan zaman
dulu, jangan kamu hancur-leburkan. Ketahuilah bagi suku Jawa
sifat-sifat Hindu-Budha tidak dapat dihapus. Yang ketiga, jika kamu
setuju, mesjid ini sebaiknya kamu buang saja musnahkan dengan api. Saya
berbelas kasihan kepada keturunanmu, sebab tidak urung mereka menuruti
kamu, mabuk do’a, tersesat mabuk-tobat, berangan-angan lam yakunil.”
“…orang menyembah nama yang tiada
wujudnya, harus dicegah. Maka dari itu jangan kamu terus-teruskan,
sebab itu palsu.” (Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh XI
Pangkur, 25-36).
Khotbah Perpisahan Sunan Panggung
“Banyak orang yang gemar dengan
kesejatian, tapi karena belum pernah berguru maka semua itu dipahami
dalam konteks dualitas. Yang satu dianggap wjud lain. Sesungguhnya
orang yng melihat sepeti ini akan kecewa. Apalagi yang ditemui akan
menjadi hilang. Walaupun dia berkeliling mencari, ia tidak akan
menemukan yang dicari. Padahal yang dicari, sesungguhnya telah ditimang
dan dipegang, bahkan sampai keberatan membawanya. Dan karena belum
tahu kesejatiannya, ciptanya tanpa guru menyepelekan tulisan dan
kesejatian Tuhan.”
“Walaupun dituturkan sampai capai,
ditunjukkan jalannya, sesungguhnya dia tidak memahaminya karena ia
hanya sibuk menghitung dosa besar dan kecil yg diketahuinya. Tentang
hal kufur kafir yang ditolaknya itu, bukti bahwa ia adalah orang yang
masih mentah pengetahuannya. Walaupun tidak pernah lupa sembahyang,
puasanya dapat dibangga-banggakan tanpa sela, tapi ia terjebak menaati
yang sudah ditentukan Tuhan.
Sembah puji dan puasa yang ditekuni,
membuat orang justru lupa akan sangkan paran (asal dan tujuan). Karena
itu, ia lebih konsentrasi melihat dosa besar-kecil yang dikhawatirkan,
dan ajaran kufur kafir yang dijauhi justru membuat bingung sikapnya.
Tidak ada dulu dinulu. Tidak merasa, tidak menyentuh. Tidak saling
mendekati, sehingga buta orang itu. Takdir dianggap tidak akan terjadi,
salah-salah menganggap ada dualisme antara Maha Pencipta dan Maha
Memelihara. Jika aku punya pemikiran yang demikian, lebih baik aku mati
saja ketika masih bayi. Tidak terhitung tidak berfikir, banyak orang
yang merasa menggeluti tata lafal, mengkaji sembahyang dan
berletih-letih berpuasa. Semua itu dianggap akan mampu mengantarkan.
Padahal salah-salah menjadikan celaka dan bahkan banyak yang menjadi
berhala.”
“Pemikiran saya sejak kecil, Islam tidak
dengan sembahyang, Islam tidak dengan pakaian, Islam tidak dengan
waktu, Islam tidak dengan baju dan Islam tidak dengan bertapa. Dalam
pemikiran saya, yang dimaksud Islam tidak karena menolak atau menerima
yang halal atau haram. Adapun yang dimaksud orang Islam itu, mulia
wisesa jati, kemuliaan selamat sempurna sampai tempat tinggalnya besok.
Seperti bulu selembar atau tepung segelintir, hangus tak tersisa.
Kehidupan di dunia seperti itu keberadaannya.”
“Manusia, sebelum tahu makna Alif, akan
menjadi berantakan….Alif menjadi panutan sebab uintuk semua huruf, alif
adalah yang pertama. Alif itu badan idlafi sebagai anugerah.
Dua-duanya bukan Allah. Alif merupakan takdir, sedangkan yang tidak
bersatu namanya alif-lapat. Sebelum itu jagat ciptaan-Nya sudah ada.
Lalu alif menjadi gantinya, yang memiliki wujud tunggal. Ya, tunggal
rasa, tunggal wujud. Ketunggalan ini harus dijaga betul sebab tidak ada
yang mengaku tingkahnya. ALif wujud adalah Yang Agung. Ia menjadi
wujud mutlak yang merupakan kesejatian rasa. Jenisnya ada lima, yaitu
alif mata, wajah, niat jati, iman, syari’at.”
“Allah itu penjabarannya adalah dzat Yang
Maha Mulia dan Maha Suci. Allah itu sebenarnya tidak ada lain, karena
kamu itu Allah. Dan Allah semua yang ada ini, lahir batin kamu ini
semua tulisan merupakan ganti dari alif, Allah itulah adanya.”
“Alif penjabarannya adalah permulaan pada
penglihatan, melihat yang benar-benar melihat. Adapun melihat Dzat
itu, merupakan cermin ketunggalan sejati menurun kepada kesejatianmu.
Cahaya yang keluar, kepada otak keberadaan kita di dunia ini merupakan
cahaya yang terang benderang, itu memiliki seratus dua puluh tujuh
kejadian. Menjadi penglihatan dan pendengaran, napas yang tunggal,
napas kehidupan yang dinamakan Panji. Panji bayangan dzat yang mewujud
pada kebanyakkan imam. Semua menyebut dzikir sejati, laa ilaaha
illallah.” .
Kematian di Mata Sunan Geseng
“Banyak orang yang salah menemui ajalnya.
Mereka tersesat tidak menentu arahnya, pancaindera masih tetap siap,
segala kesenangan sudah ditahan, napas sudah tergulung dan angan-angan
sudah diikhlaskan, tetapi ketika lepas tirta nirmayanya belum mau. Maka
ia menemukan yang serba indah.”
“Dan ia dianggap manusia yang luar biasa.
Padahal sesungguhnya ia adalah orang yang tenggelam dalam angan-angan
yang menyesatkan dan tidak nyata. Budi dan daya hidupnya tidak mau
mati, ia masih senang di dunia ini dengan segala sesuatu yang hidup,
masih senang ia akan rasa dan pikirannya. Baginya hidup di dunia ini
nikmat, itulah pendapat manusia yang masih terpikat akan keduniawian,
pendapat gelandangan yang pergi ke mana-mana tidak menentu dan tidak
tahu bahwa besok ia akan hidup yang tiada kenal mati. Sesungguhnyalah
dunia ini neraka.”
“Maka pendapat Kyai Siti Jenar betul,
saya setuju dan tuan benar-benar seorang mukmin yang berpendapat tepat
dan seyogyanya tuan jadi cermin, suri tauladan bagi orang-orang lain.
Tarkumasiwalahu (Arab asli : tarku ma siwa Allahu), di dunia ini hamba
campur dengan kholiqbta, hambanya di surga, khaliknya di neraka agung.”
Syari’at Palsu Para Wali Menurut Ki Cantula
“Menurut ajaran guruku Syekh Siti Jenar,
di dunia ini alam kematian. Oleh karena itu, dunia yang sunyi ini tidak
ada Hyang Agung serta malaikat. Akan tetapi bila saya besok sudah ada
di alam kehidupan saya akan berjumpa dan kadang kala saya menjadi
Allah. Nah, di situ saya akan bersembahyang.”
“Jika sekarang saya disuruh sholat di
mesjid saya tidak mau, meskipun saya bukan orang kafir. Boleh jadi saya
orang terlantar akan Pangeran Tuhan. Kalau santri gundul, tidak
tahunya yang ada di sini atau di sana. Ia berpengangan kandhilullah,
mabuk akan Allah, buta lagi tuli.”
“Lain halnya dengan saya, murid Syekh
Siti Jenar. Saya tidak menghiraukan ujar para Wali, yang mengkukuhkan
Syari’at palsu, yang merugikan diri sendiri. Nah, Syekh Dumba,
pikirkanlah semua yang saya katakan ini. Dalam dadamu ada Al-Qur’an.
Sesuai atau tidak yang saya tuturkan itu, kanda pasti tahu.” .
Jawaban Ki Bisono Tentang Semesta, Tuhan dan Roh
Ki Bisana menyanggupi kemudian menjawab pertanyaan dari Sultan Demak:
“Pertanyaan pertama : Pertanyaan, bahwa
Allah menciptakan alam semesta itu adalah kebohongan belaka. Sebab alam
semesta itu barang baru, sedang Allah tidak membuat barang yang
berwujud menurut dalil : layatikbiyu hilamuhdil, artinya tiada
berkehendak menciptakan barang yang berwujud. Adapun terjadinya alam
semesta ini ibaratnya : drikumahiyati : artinya menemukan keadaan. Alam
semesta ini : la awali. Artinya tiada berawal. Panjang sekali kiranya
kalau hamba menguraikan bahwa alam semesta ini merupakan barang baru,
berdasarkan yang ditulis dalam Kuran.”
“Pertanyaan yang kedua : Paduka bertanya
di mana rumah Hyang Widi. Hal itu bukan merupakan hal yang sulit, sebab
Allah sejiwa dengan semua zat. Zat wajibul wujud itulah tempat
tinggalnya, seumpamanya Zat tanahlah rumahnya. Hal ini panjang sekali
kalau hamba terangkan. Oleh karena itu hamba cukupkan sekian saja
uraian hamba.”
“Selanjutnya pertanyaan ketiga :
berkurangnya nyawa siang malam, sampai habis ke manakah perginya nyawa
itu. Nah, itu sangat mudah untuk menjawabnya. Sebab nyawa tidak dapat
berkurang, maka nyawa itu bagaikan jasad , berupa gundukan, dapat aus,
rusak dimakan anai-anai. Hal inipun akan panjang sekali untuk hamba
uraikan. Meskipun hamba orang sudra asal desa, akan tetapi tata bahasa
kawi hamba mengetahui juga, baik bahasa biasa maupun yang dapat
dinyanyikan. Lagu tembang sansekerta pun hamba dapat menyanyikan juga
dengan menguraikan arti kalimatnya, sekaligus hamba bukan seorang empu
atau pujangga, melainkan seorang yang hanya tahu sedikit tentang ilmu.”
“Itu semua disebabkan karena hamba
berguru kepada Syekh Siti Jenar, di Krendhasawa, tekun mempelajari
kesusasteraan dan menuruti perintah guru yang bijaksana. Semua murid
Syekh Siti Jenar menjadi orang yang cakap, berkat kemampuan mereka
untuk menerima ajaran guru mereka sepenuh hati.”
“Adapun pertanyaan yang keempat : paduka
bertanya bagaimanakah rupa Yang Maha Suci itu. Kitab Ulumuddin sudah
memberitahukan : walahu lahir insan, wabatinul insani baitu-baytullahu
(Arab asli : wa Allahu dzahir al-insan, wabathin, al-insanu
baytullahu), artinya lahiriah manusia itulah rupa Hyang Widi. Batiniah
manusia itulah rumah Hyang Widi. Banyak sekali yang tertulis dalam
Kitab Ulumuddin, sehingga apabila hamba sampaikan kepada paduka,
Kanjeng Pangeran Tembayat tentu bingung, karena paduka tidak dapat
menerima, bahkan mungkin paduka mengira bahwa hamba seorang majenun.
Demikianlah wejangan Syekh Siti Jenar yang telah hamba terima.”
“Guru hamba menguraikan asal-usul manusia
dengan jelas, mudah diterima oleh para siswa, sehingga mereka tidak
menjadi bingung. Diwejang pula tentang ilmu yang utama, yang
menjelaskan tentang dan kegunaan budi dalam alam kematian di dunia ini
sampai alam kehidupan di Akhirat. Uraiannya jelas dapat dilihat dengan
mata dan dibuktikan dengan nyata.”
“Dalam memberikan pelajaran, guru hamba
Syekh Siti Jenar, tiada memakai tirai selubung, tiada pula memakai
lambang-lambang. Semua penjelasan diberikan secara terbuka, apa adanya
dan tanpa mengharapkan apa-apa sedikitpun. Dengan demikian musnah
segala tipu muslihat, kepalsuan dan segala perbuatan yang dipergunakan
untuk melakukan kejahatan. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan
para guru lainnya. Mereka mengajarkan ilmunya secara diam-diam dan
berbisik-bisik, seolah-olah menjual sesuatu yang gaib, disertai dengan
harapan untuk memperoleh sesuatu yang menguntungkan untuk dirinya.”
“Hamba sudah berulang kali berguru serta
diwejang oleh para wali mu’min, diberitahu akan adanya Muhammad sebagai
Rosulullah serta Allah sebagai Pangeran hamba. Ajaran yang dituntunkan
menuntun serta membuat hamba menjadi bingung dan menurut pendapat
hamba ajaran mereka sukar dipahami, merawak-rambang tiada patokan yang
dapat dijadikan dasar atau pegangan. Ilmu Arab menjadi ilmu Budha,
tetapi karena tidak sesuai kemudian mereka mengambil dasar dan pegangan
Kanjeng Nabi. Mereka mematikan raga, merantau kemana-mana sambil
menyiarkan agama. Padahal ilmu Arab itu tiada kenal bertapa, kecuali
berpuasa pada bulan Romadan, yang dilakukan dengan mencegah makan,
tiada berharap apapun.”
“Jadi jelas kalau para wali itu masih
manganut agama Budha, buktinya mereka masih sering ketempat-tempat
sunyi, gua-gua, hutan-hutan, gunung-gunung atau tepi samudera dengan
mengheningkan cipta, sebagai laku demi terciptanya keinginan mereka
agar dapat bertemu dengan Hyang Sukma. Itulah buktinya bahwa mereka
masih dikuasai setan ijajil. Menurut cerita Arab Ambiya, tiada orang
yang dapat mencegah sandang pangan serta tiada untuk kuasa berjaga
mencegah tidur kecuali orang Budha yang mensucikan dirinya dengan jalan
demikian. Nah, silahkan memikirkan apa yang hamba katakan, sebagai
jawaban atas empat pertanyaan paduka.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki
Sasrawijaya, Pupuh V Pangkur, 22-45).
Wasiat dan Ajaran Syekh Amongraga
”Syekh Amongraga adalah salah seorang
pewaris ajaran Syekh Siti Jenar pada masa Sultan Agung Hanyokusumo
(1645). Mengenai rincian kehidupan dan ajaran Syekh Amongraga dapat
dibaca di serat Centini”.
Syekh Amongraga mewasiatkan berbagai inti ajaran yang meliputi (Primbon Sabda Sasmaya; hlm. 24):
1. Rahayu ing Budhi (selamat akhlak dan moral).
2. Mencegah dan berlebihnya makanan.
3. Sedikit tidur.
4. Sabar dan tawakal dalam hati.
5. Menerima segala kehendak dan takdir Tuhan.
6. Selalu mensyukuri takdir Tuhan.
7. Mengasihi fakir dan miskin.
8. Menolong orang yang kesusahan.
9. Memberi makan kepada orang yang lapar.
10. Memberi pakaian kepada orang yang telanjang.
11. Memberikan payung kepada orang yang kehujanan.
12. Memberikan tudung kepada orang yang kepanasan.
13. Memberikan minum kepada orang yang haus.
14. Memberikan tongkat penunjuk kepada orang yang buta.
15. Menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat.
16. Menyadarkan orang yang lupa.
17. Membenarkan ilmu dan laku orang yang salah.
18. Mengasihi dan memuliakan tamu.
19. Memberikan maaf kepada kesalahan dan dosa sanak-kandung, saudara, dan semua manusia.
20. Jangan merasa benar, jangan merasa
pintar dalam segala hal, jangan merasa memiliki, merasalah bahwa semua
itu hanya titipan dari Tuhan yang membuat bumi dan langit, jadi manusia
itu hanyalah sudarma (memanfaatkan dengan baik dengan tujuan dan cara
yang baik pula) saja. Pakailah budi, syukur, sabar, menerima, dan rela.
Ajaran Syekh Siti Jenar Menurut Pangeran Panggung
“….Saya mencari ilmu sejati yang
berhubungan langsung dengan asal dan tujuan hidup, dan itu saya
pelajari melalui tanajjul tarki. Menurut saya , untuk mengharapkan
hidayah hanyalah bias didapat dengan kesejatian ilmu. Demi kesentausaan
hati menggapai gejolak jiwa, saya tidak ingin terjebak dalam syariat.”
“Jika saya terjebak dalam syariat, maka
seperti burung sudah bergerak, akan tetapi mendapatkan pikiran yang
salah. Karena perbuatan salah dalam syariat adalah pada kesalahpahaman
dalam memahami larangan. Bagi saya kesejatian ilmu itulah yang
seharusnya dicari dan disesuaikan dengan ilmu kehidupan. Kebanyakan
manusia itu, jika sudah sampai pada janji maka hatinya menjadi
khawatir, wataknya selalu was-was…senantiasa takut gagal….Alam dibawah
kolong langit, diatas hamparan bumi dan semua isi didalamnya hanyalah
ciptaan Yang Esa, tidak ada keraguan. Lahir batin harus bulat, mantap
berpegang pada tekad.” (Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 1-2).
“Yang membuat kita paham akan diri kita,
Pertama tahu akan datang ajal, karena itu tahu jalan kemuliaannya,
Kedua, tahu darimana asalnya ada kita ini sesungguhnya, berasal dari
tidak ada. Kehendak-Nya pasti jadi, dan kejadian itu sendiri menjadi
misal. Wujud mustahil pertandanya sebagai cermin yang bersih merata
keseluruh alam. Yang pasti dzatnya kosong, sekali dan tidak ada lagi.
Dan janganlah menyombongkan diri, bersikaplah menerima jika belum
berhasil. Semua itu kehendak Sang Maha Pencipta. Sebagai makhluk
ciptaan, manusia didunia ini hanya satu repotnya. Yaitu tidak berwenang
berkehendak, dan hanya pasrah kepada kehendak Allah.”
“Segala yang tercipta terdiri dari jasad
dan sukma, serta badan dan nyawa. Itulah sarana utama, yakni cahaya,
roh, dan jasad. Yang tidak tahu dua hal itu akan sangat menyesal. Hanya
satu ilmunya, melampaui Sang Utusan. Namun bagi yang ilmunya masih
dangkal akan mustahil mencapai kebenaran, dan manunggal dengan Allah.
Dalam hidup ini, ia tidak bisa mengaku diri sebagai Allah, Sukma Yang
Maha Hidup. Kufur jika menyebut diri sebagai Allah. Kufur juga jika
menyamakan hidupnya dengan Hidup Sang Sukma, karena sukmaitu adalah
Allah.” (Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 2).
” Waktu shalat merupakan pilihan waktu
yang sesungguhnya berangkat dari ilmu yang hebat. Mengertikah Anda,
mengapa shalat dzuhur empat raka’at? Itu disebabkan kita manusia
diciptakan dengan dua kaki dan dua tangan. Sedang shalat ‘Ashar empat
raka’at juga, adalah kejadian bersatunya dada dengan Telaga al-Kautsar
dengan punggung kanan dan kiri. Shalat Maghrib itu tiga raka’at, karena
kita memiliki dua lubang hidung dan satu lubang mulut. Adapun shalat
‘Isya’ enjadi empat raka’at karena adanya dua telinga dan dua buah
mata. Adapun shalat Subuh, mengapa dua raka’at adalah perlambang dari
kejadian badan dan roh kehidupan. Sedangkan shalat tarawih adalah
sunnah muakkad yang tidak boleh ditinggalkan dua raka’atnya oleh yang
melakukan, men-jadi perlambang tumbuhnya alis kanan dan kiri.”
“Adapun waktu yang lima, bahwa
masing-masing berbeda-beda yang memilikinya. Shalat Subuh, yang
memiliki adalah Nabi Adam. Ketika diturunkan dari surga mulia, berpisah
dengan istrinya Hawa menjadi sedih karena tidak ada kawan. Lalu ada
wahyu dari melalui malaikat Jibril yang mengemban perintah Tuhan kepada
Nabi Adam, “Terimalah cobaan Tuhan, shalat Subuhlah dua raka’at”. Maka
Nabi Adampun siap melaksanakannya. Ketika Nabi Adam melaksanakan
shalat Subuh pada pagi harinya, ketika salam. Telah mendapati istrinya
berada dibelakangnya, sambil menjawab salam. Shalat Dzuhur dimaksudkan
ketika Kanjeng Nabi Ibrahim pada zaman kuno mendapatkan cobaan besar,
dimasukkan ke dalam api hendak dihukum bakar. Ketika itu Nabi Ibrahim
mendapat wahyu ilahi, disuruh untuk melaksanakan shalat Dzuhur empat
raka’at. Nabi Ibrahim melaksanakan shalat, api padam seketika. Adapun
shalat Ashar, dimaksudkan ketika Nabi Yunus sedang naik perahu dimakan
ikan besar. Nabi Yunus merasakan kesusahan ketika berada di dalam perut
ikan. Waktu itu terdapat wahyu Ilahi, Nabi Yunus diperintahkan
melaksanakan shalat Ashar empat raka’at. Nabi Yunus segera
melaksanakan, dan ikan itu tidak mematikannya. Malah ikan itu mati,
kemudian Nabi Yunus keluar dari perut ikan. Sedangkan shalat Maghrib
pada zaman kuno yang memulainya adalah Nabi Nuh. Ketika musibah banjir
bandang sejagat, Nabi Nuh bertaubat merasa bersalah. Dia diterima
taubatnya disuruh mengerjakan shalat. Kemudian Nabi Nuh melaksanakan
shalat Maghrib tiga raka’at, maka banjirpun surut seketika. Shalat
‘Isya sesungguhnya Nabi Isa yang memulainya. Ketika kalah perang
melawan Raja Harkiyah (Juga disebut Raja Herodes, atasan Gubernur
Pontius Pilatus) semua kaumnya bingung tidak tahu utara, selatan, barat,
timur dan tengah. Nabi Isa merasa susah, dan tidak lama kemudian
datang malaikat Jibril membawa wahyu dengan uluk salam. Nabi Isa
diperintahkan melaksanakan shalat ‘Isya. Nabi Isa menyanggupinya, dan
semua kaumnya mengikutinya, dan malaikat Jibril berkata, “Aku yang
membalaskan kepada Pendeta Balhum.” (Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh
2).
“Menurut pemahaman saya, sesuai petunjuk
Syekh Siti Jenar dahulu, anasir itu ada empat yang berupa anasir batin
dan ansir lahir. Pertama, anasir Gusti. Perlu dipahami dengan baik
dzat, sifat, asma dan af’al (perbuatan) kedudukannya dalam rasa. Dzat
maksudnya adalah bahwa diri manusia dan apapun yang kemerlap di dunia
ini tidak ada yang memiliki kecuali Tuhan Yang Maha Tinggi, yang besar
atau yang kecil adalah milik Allah semua. Ia tidak memiliki hidupnya
sendiri. Hanya Allah yang Hidup, yang Tunggal. Adapun sifat
sesungguhnya segala wujud yang kelihatan yang besar atau kecil, seisi
bumi dan langit tidak ada yang memiliki hanya Allah Tuhan Yang Maha
Agung. Adapun asma sesungguhnya, nama semua ciptaan seluruh isi bumi
adalah milik Tuhan Allah Yang Maha Lebih Yang Maha Memiliki Nama.
Sedangkan artinya af’al adalah seluruh gerak dan perbuatan yang
kelihatan dari seluruh makhluk isi bumi ini adalah tidak lain dari
perbuatan Allah Yang Maha Tinggi, demikian maksud anasir Gusti.”
“Anasir roh, ada empat perinciannya yang
berwujud ilmu yang dinamai cahaya persaksian (nur syuhud). Maksudnya
adalah sebagai berikut : pertama, yang disebut wujud sesungguhnya
adalah hidup sejati atau amnusia sejati seperti pertempuran yang masih
perawan itulah yang dimaksud badarullah yang sebenarnya. Kedua, yang
disebut ilmu adalah pengetahuan batin yang menjadi nur atau cahaya
kehidupan atau roh idhafi, cahaya terang menyilaukan seperti bintang
kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak batin kejora.
Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak batin tatkala memusatkan
perhatian terutama ketika mengucapkan takbir. Demikianlah penjelasan
tentang anasir roh, percayalah kepada kecenderungan hati.”
“Anasir manusia maksudnya hendaklah
dipahami bahwa manusia itu terdiri dari bumi, api, angin dan air. Bumi
itu menjadi jasad, api menjadi cahaya yang bersinar, angin menjadi
napas keluar masuk, air, menjadi darah. Keempatnya bergerak tarik
menarik secara ghaib. Demikianlah penjelasan saya tentang anasir.
(Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 3).
silahkan anda Copy paste artikel diatas
tapi kalau anda tidak keberatan mohon cantumkan sumber dengan linkback ke blog ini.
terimakasih....!!!
0 komentar:
Posting Komentar