Sri Sultan Hamengku Buwono X
“Sebaik-baik Ilmu adalah berdoa kepa Allah SWT”
LATAR BELAKANG
PUSAKA
Inadonesia terhampar luas dari puncah gunung, pusat-pusat kota tua,
pedesaan, candi, hingga pulau-pulau dan lautan beserta isinya, termasuk
juga seni budaya. Keanekaragaman alam dan budaya yang ada di Nusantara
ini merupakan”Pusaka Bangsa” yang dapat memperkuat semangat “Bhinneka
Tunggal Ika”. Salah satu sumber informasi kebudayaan daerah yang sangat
penting artinya dalam upaya pembinaan dan pengembangan kebudayaan
nasional adalah naskah-naskah kuna. Pada dasarnya naskah-naskah lama
itu merupakan dokumen budaya yang berisi data dan informasi tentang
pikiran, perasaan, dan pengetahuan dari suatu etnik atau kelompak
sosial budaya tertentu, sekaligus sebagai unsur budaya yang erat
kaitannya dengan kehidupan sosial masyarakat yang melahirkan dan
mendukung naskah-naskah tersebut.
Karena itu,
peninggalan suatu kebudayaan berupa naskah, termasuk dokumen yang
paling menarik bagi para peneliti kebudayaan lama. Artefak sebagai
peninggalan sejarah berbentuk puing bangunan seperti candi, istana
raja, pemandian suci, dan lain sebagainya, bisa memberi kesan mengenai
keagungan budaya lama. Namun, peninggalan berbentuk sisa bangunan itu
belum sanggup memberi informasi langsung yang mencukupi mengenai
kehidupan sosial budaya masyarakat yang membangunnya. Karena hal itu
hanya dapat kita ketahui lebih mendalam melalui peninggalan dalam
bentuk naskah.
Pada
masanya naskah-naskah itu mempunyai banyak fungsi, antara lain sebagai
pegangan kaum bangsawan untuk naskah-naskah yang berisi
silsilah, sejarah leluhur, dan sejarah daerah mereka, sebagai alat
pendidikan untuk naskah-naskah yang berisi pelajaran agama dan
etika, sebagai media menikmati seni budaya seperti naskah-naskah yang
berisi cipta sastra atau karya seni, dapat menambah pengetahuan untuk
naskah-naskah yang berisi berbagai informasi ilmu pengetahuan, dan
sebagai alat keperluan praktis kehidupan sehari-hari untuk
naskah-naskah yang berisi primbon dan sistem perhitungan waktu
serta doa-doa yang bisa disebut mantra.
Seminar
Nasional yang mengetengahkan masalah naskah-naskah kuna Nusantara
ini, diharapkan dapat mempublikasikan kandungan isi naskah-naskah
Nusantara, khususnya mantra, dalam upaya mengungkapkan kekayaan budaya
bangsa. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki warisan
kekayaan khazanah manuscript yang tergolong terbesar di
dunia (tercatat di Perpustakaan Nasional mendekati angka
10.000 eksemplar 2), yang dituangkan melalui tulisan
tangan sejak berabad-abad silam. Lewat tulisan tangan itu,
masyarakat mengungkapkan ide-ide relegiusnya mengenai manusia
dan semesta alam. Di dalam naskah yang tersebar di seantero
Nusantara itu, terdapat teks yang mengandung nilai-nilai kebenaran”
kebajikan dan keindahan.
Memang
tidak semua komunitas masyarakat Nusantara memiliki
dan menyimpan khazanah pernaskahan tersebut. Tidak semua
kelompok etnis di Nusantara memiliki peninggalan tradisi
tulis berupa naskah. Di Indonesia ada sekitar 500-an suku, etapi yang
memiliki naskah tradisional, antara lain suku Jawa, Sunda,
Bali, Sasak, Batak, Madura, Rejang Lebong, Aceh, Melayu dan
Bugis.
Ada
ribuan naskah tradisional yang tersebar di berbagai
daerah di Indonesia yang memerlukan penanganan serius. Lewat
Seminar ini diharapkan menjadi bukti usaha memelihara,
mengembangkan dan meneruskan warisan budaya bangsa. Naskah
tradisional sebagai peninggalan sejarah dan
intelektual bersama nilai-nilai ultural dan religius masyarakat,
untuk dapat bangkit menjadi bangsa yang cendekia, erbudaya
dan arif di hadapan tantangan globalisaisi.
NASKAH KUNA DI DALAM KERATON
BANYAK naskah kuna di dalam Keraton yang disebut kawruh, piwulang atau pitutur-Iuhur dari para leluhur yang dikemas dalam pelbagai naskah yang tersimpan sebagai pus aka. Naskah itu bisa berupa Babad, Serat, Sastra pewayangan, Sastra Suluk dan sejenisnya
Babad umumnya berisi tentang sejarah kerajaan atau tokohnya, Serat berisi tentang ajaran-ajaran atau piwulang atau kisah dalam dunia pewayangan, khususnya kisah Mahabarata dan Ramayana, Suluk berisi ajaran mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, ajaran moral, dan lain-lain. Babad bukan sejarah dalam arti historis kronologis, tetapi lebih sebagai alat tutur-luhur yang berisi petuah dan nasihat.
Sastra
pengaruh India mendominasi Jawa dalam waktu yang cukup
lama, karena baru pada jaman Majapahit muncul pembaharuan sastra
Jawa dengan lahirnya Kitab Negarakertagama. Sastra ini
mereformasi mitologi India yang sudah menjadi tradisi di
lingkungan masyarakat Jawa, yang tokoh-tokohnya kemudian diganti
dengan tokoh-tokoh Majapahit secara riil.
Setelah agama Islam masuk, muncullah kitab Suluk Seloka,
berisi ajaran serta tuntunan bersatunya makhluk dengan
Tuhannya. Berbeda dengan pandangan Jawa-Hindu, seseorang
hanya bisa berhubungan dengan Tuhan, kalau dia itu pendeta,
raja dan. pujangga. Mereka inilah yang dapat bersatu dengan dewa.
Sedangkan kitab-kitab Suluk Seloka mengajarkan seseorang
dapat berhubungan dengan Tuhannya tanpa perantara, dan ini
berarti suatu penghargaan individu yang sangat tinggi.
Pada jaman Islam ini, muncul naskah-naskah berisi mantra-mantra yang berciri mitologi Islam, seperti Kitab Ambiya Jawi, Serat Anggit Kidung Berdonga, Serat Puji, yang masih tersimpan di Keraton Yogyakarta. Lahir pula Sastra Piwulang, seperti Serat Nitisruti, Serat Nitipraja, dan Serat Sewaka, yang ketiganya berisi petunjuk cara mengabdi kepada raja dan cara memerintah.
Bentuk metrum macapat juga muncul dalam karya sastra sejarah seperti Babad Giyanti, Babad Pakepung, Babad Prayut
dan sebagainya. Pada jaman itu muncul karya futuristik yang digubah
barangkaii kita dapat bercemrin diri akan keberadaan kita
sekarang. Tatkala Pangeran Mangkubumi bergerilya di kawasan
Kedu dan Kebanaran pernah berujar secara bersahaja, yang dikutip
dalam Babad Giyantl: “Satuhune Sri Narapati Mangunahnya Brangti-Wljayanti”‘.
Ucapan itu menunjukkan keprihatinan beliau, bahwa
kultur Barat sebagai akses gencamya politik kolonialisme
Belanda yang mencekik, akan membuat raja-raja Jawa terkena
demam asmara dan lemah-lunglai tanpa daya.
Keadaan ini harus dihadapi dengan “wijayanti”, untuk bisa berjaya dan tampil sebagai pemenang. Maka dianjurkannya: ‘puwarane sung awerdi, gagat-gagat wijayai”’,
untuk menjadi pemenang, seorang Raja haruslah meneladani sikap tulus
tanpa pamrih, agar bisa menyambut cerahnya hari esok yang
laksana biru nirmala.
Ungkapan
ini rasanya ada paralelisme sejarah dengan keadaan
sekarang, di saat menghadapi hantaman derasnya arus globalisasi
mengharuskan kita bersiap diri untuk meningkatkan kualitas dalam
semua aspek kehidupan. Selain harus “eling Ian waspada” menghadapi berbagai godaan dan cobaan di zaman Kala-Tida ini, di mana banyak hal yang diliputi oleh keadaan yang serba “tida-tida” –penuh was-was, keraguan clan ketidakpastian.
MANTRA KONSEPSI HINDU
KONON, mantra berasal dati kata “man”, yang berarti pikiran, dan “tra”, yang berarti alat. Jadi “mantra” berarti “alat dari pikiran”. Pengertian mantra menurut Mantra Yoga adalah sebagai berikut :
“Mantras (or mantrams) are words, phrases, or syllables, which are chanted thoughtfully and with growing attention”
["Mantra/mantram
adalah kata-kata, ungkapan atau suku-kata yang secara khusuk
dilagukan berulang-ulang dengan konsentrasi yang semakin
meningkat"].
Mantra adalah suatu idiom
atau kata khusus yang mempunyai arti tersendiri. Bahkan,
menyimpan kekuatan dahsyat yang terkadang sulit diterima akal sehat.
Dan menurut ajaran agama Hindu, mantra adalah kata- kata yang
diyakini sebagai wahyu yang diterima oleh manusia pilihan, sebagai
alat komunikasi khusus dengan Tuhan atau dewa-dewa yang
merupakan manifestasi dari kekuatan-Nya. Karena itu tidaklah
mengherankan kalau mantra begitu dikeramatkan, dan tidak boleh
sembarang orang mengucapkannya sebelum pemah mewinten
(disucikan secara ritual). Selain itu, tidak boleh pula diucapkan
di tempat-tempat yang tidak pantas. Demikianlah konsep mantra menurut
Hindu.
Dalam bahasa Latin kita mengenal kata alpha dan omega. Alpha berarti awal dan omega, akhir. Dalam agama Hindu kedua kata ini disingkat dengan kata “Om” (awal-akhir), yang berasal dari kata Aum atau semangat Sabda Allah yang menciptakan melestarikan dan mentransformasikan mantra Hindu: “Asato Ma Sat Gamayo”, yakni “Bimbinglah aku dari dunia maya ke dunia Nyata”.
Aum
terdiri dari tiga huruf yakni A, U, dan M. A adalah simbol
Dewa Brahmana, wujud Tuhan dalam waktu menciptakan alam semesta
ini. Konon, pada waktu mengucapkan huruf “A” itu, bentuk mulut
mulai terbuka. Kemudian huruf “u” adalah simbol Dewa Wisnu,
manifestasi Tuhan dalam waktu memelihara dan
melindungi alam. Saat mengucapkan huruf ini, bibir
dipanjangkan seperti sikap melindungi bagian dalam dari
mulut itu sendiri. Ada pun huruf “M” adalah simbol Dewa
Siwa, manifestasi Tuhan yang mengembalikan segalanya ke
asalnya. Pada waktu mengucapkan huruf ini, bibir kelihatan
terkatup rapat kembali sebagaimana asalnya sebelum terbuka.
Setelah
masuknya Islam, pemantraan masih tetap dikenal dalam khasanah
mistik kita. Mungkin, hanya istilah-istilah saja yang berbeda,
misalnya ajian, jampi dan lain sebagainya, seperti dalam Kitab Mujarobat.
Sebenarnya istilah-istilah tersebut tetap mengandung arti sama, yang
(dipercaya) menyimpan tuah tertentu. Berkaitan penggunaan kata “Om”, dalam mantra-mantra bemafaskan Islam umumnya lalu diganti dengan “Bismillahirrohmanirrohim”, yang hakikatnya sama.
MANTRA DI LINGKUNGAN KERATON
“MUHAMMAD kang mengku Rasa”, demikian bunyi mantra kaligrafis (rajah
penolak bala) di bangsal Kencana Keraton Yogyakarta. Dari
sini menjadi jelas, bahwa pengertian dan penerapan mantra tidak hanya
diucapkan atau dinyanyikan, tetapi dapat pula “dimantrakan” pada
berbagai medium, seperti bangunan (disebut rajah, tertulis dalam aksara Jawa/Arab), pusaka, azimat, gamelan, kereta, bedhaya (misalnya bedhaya Semang), sesaji dengan segala uba-rampe-nya (Gunungan Sekaten, berbagai kakawin, kitab, primbon, babad, serat, yang segala uba-rampe-nya ( Gunungan Sekatenlabuhan), serta benda-bendalain.
Mantra yang awalnya merupakan doa (donga)
yang bersifat privat dan vertikal-spiritual –karena diyakini sebagai
wahyu Tuhan (dalam pemahaman agama Hindu)– telah berkembang
ke sifatnya yang horisontal-kuItural. Dalam pengembangan
sifatnya yang kedua ini, mantra dapat menjadi media defensif atau
agresif sebagai kanuragan untuk pertahanan diri atau guna-guna, yang keduanya bisa mengandung tujuan positif atau pun negatif.
Mantra di lingkungan Keraton banyak tersebar di berbagai kakawin, kitab, primbon, babad, serat, yang umumnya diselipkan di dalam isi naskah yang beraksara Jawa dengan aksara Arab (pegon). Selain itu, ada yang sudah melekat (built-in) pada pusaka Keraton karena terbawa oleh sejarah pembuatan atau perolehan pusaka itu sendiri.
Sebagai contoh Kumbang Ali-ali
yang berbentuk cincin, pusaka Keraton Kasultanan Yogyakarta.
Pusaka ini memang kurang diketahui masyarakat umun. Bentuknya
sederhana tetapi punya nilai historis tinggi. Sebab cincin
itu pemah digunakan Pangeran Mangkubumi ketika masih muda untuk
menempa diri. Bersama pendherek-nya, beliau mesu-raga dan olah-kebatinan
di sepanjang Kali Pepe, Surakarta. Sesungguhnya latihannya
sederhana, cincin dilepas dan dilemparkan ke dalam sungai.
Kemudian Pangeran Mangkubumi menyelam mencari cincin
tersebut sampai mendapatkannya kembali.
Mengapa
Pangeran Mangkubumi gemar berlatih menyelam di Kali
Pepe? Kalau dicermati mengandung ajaran yang sangat dalam.
Bukankah sungai merupakan sumber hidup bagi semua
makhluk di dunia? Air dalam pemahaman Jawa berkaitan dengan rasa. Dengan demikian sebenarnya Pangeran Mangkubumi melakukan olah-rasa
untuk menemukan sumber hidup sejati, yang tiada lain adalah
Sang Maha Pencipta sendiri sebagai sumber kehidupan adikodrati.
Nama sungainya adalah Kali Pepe. Pepe merupakan perwujudan protes anak manusia menantang sinar matahari. Ini merupakan perlambang niat dan tekad yang kuat untuk ‘maneges’
mencari kehendak Allah yang sejati. Mencari cincin di dalam
sungai merupakan sebuah perlambang pencarian sekaligus membentuk
raga, agar siap diri sebagai sosok pemimpin dalam menghadapi
segala cobaan.
Penyelaman yang demikian lama ketika mencari harus menahan nafas, menutup ‘babahan hawa sanga’
atau berkonsentrasi, bertujuan menemukan cincin yang merupakan tanda
ikatan antara Manusia dengan Tuhan Sang Maha Pencipta-Nya.
Ikatan batin ini perlu dijaga, sebab dalam pemahaman Jawa huruf
pertama aksara Jawa: ‘Ha’ mengandung makna: “Hananira wahananing Hyang”.
Bahwa manusia itu ada, sebenarnya merupakan gambaran dari Allah
sendiri. Oleh karena itu manusia wajib menjaga citra Allah di
dalam dirinya.
Ketika menjalankan laku ini Pangeran Mangkubumi mencoba menyelami substansi makna pitutur-luhur yang termuat dalam tembang lama, seperti ini:
“Urip iku pindha pesate warastra saka gandewa tang pinenthang. Lamun mleset siikii Lesane mbilaeni”.
[Hidup ibarat anak panah yang melesat dari busur yang direntangkan. Jika tidak mengenai sasaran, bisa berbahaya].
Konon, pernah terjadi perdebatan tentang berbagai Kitab Jawa Kuna: Arjuna Wiwaha, Bima Suci, Ramayana, dan ayat-ayat Al-Qur’an yang direkam dalam Serat Cebolek. Dalam forum itu, Pangeran Mangkubumi datang terlambat karena baru berperang melawan ama-menthek
(setan anak kecil yang dipercaya menyebabkan kerusakan tanaman
padi). Dengan berpegang pada ayat-ayat suci Al-Qur’an sebagai
mantra, beliau dapat mengalahkan raja menthek, yang kemudian mengabdikan diri kepadanya.
Apabila
di kemudian hari Mangkubumi dalam kedudukannya sebagai Sultan
Hamengku Buwono I bertapa di tengah air di kompleks Taman Sari,
baginya air bukanlah sekadar tempat among-suka, melainkan tempat menunaikan laku
demi masyarakat petani. Tradisi pembuatan kolam di sekitar
istana, juga sudah terlihat di Keraton Plered yang dibangun
Sultan Agung pada bagian akhir pemerintahannya dengan
membendung Sungai Opak dan Winanga. Sesungguhnya Taman Sari
adalah bangunan irigasi dalam konteks peradaban kota
pra-industri dalam membangun oriental despotisme yang membuat
ketergantungan kaum tani kepada para elite kerajaan.
Mengingat pada zaman Serat Cebolek, Mangkubumi dimitoskan sebagai penakluk raja menthek,
kiranya pada waktu pembangunan Taman Sari 25 tahun kemudian,
mitos ini masih tetap melekat. Masjid kecil di Taman Sari yang
hanya dapat dimasuki lewat lorong bawah air Sumur Gumuling, diperkirakan berfungsi sebagai tempat samadi beliau untuk menjinakkan raja menthek yang telah ditundukkan olehnya.
Menurut
hemat saya, deskripsi dan analisis Prof. Dr. Alexander Sudewa dalam
Pidato Pengukuhannya itu, perlu kita cermati bersama saat akan
melakukan renovasi kompleks Taman Sari dalam rangka kerjasama
dengan Pemerintah Portugal.
Dalam konteks mantra lainnya, dapat diilustrasikan dari Kitab Wedha- Mantra, yang masih tersimpan di Museum Sanabudaya. Kitab itu memuat ngelmu kebatinan Kangjeng Sunan Kalijaga. Pada bab “Masaalah Dhikir” yang ada kemiripannya dengan cara penulisan puisi “Tamba Ati’” karya Sunan Bonang, seperti di bawab ini:
“Iki
bab masaalah dhikir, iku ana nem prakara. Kang sapisan iku dhikir
Suwul arane, tegese dhikir iya anteng ing napas. Kang kapindho
iku dhikir Suwul- istilah arane, dhikir iya tegese anyipta
gurune, angadeg ana netrane alise. Kang taping telu iku dhikir
Istilah -ruk-iyat arane, tegese dhikir iya ilange ‘ilmune. Kang
kaping pat iku dhikir Suwul ngeski arane, tegese ilang
birahine.Kang kaping lima iku dhikir Suwul- ngiskiyah arane, tegese
dhikir iya ilange liyepe kari lengude.Kang kaping nem iku dhikir
Nakisbandiyah arane, tegese iya dhikir ngilangake kahanan
kabeh, iya kari mung wujudullah, ing dalem isbat Ian ilange
alip, iku dadi lah-hu, Ian ilange lam awal, iku dadi lah-hu,
Ian ilange lam akhir, iku dadi hu, lan ilange hu, iku dadi ora ana
lapale iya ora ana jamane, ora ana tuduhe, iya ora ana maknane, iya
mung kari jumeneng ing dzatullah, iya jumeneng kalawan dhewe” *).
Selanjutnya jika kita membuka Kitab Mantra-Yoga, di sana termuat “Aji kadigdayan Kasenapaten”, wasiat
Kangjeng Panembahan Senapati Ingalaga Matararam tentang ilmu
kekebalan terhadap segala macam senjata api. Untuk mencapai
tataran kebal seperti itu harus disertai laku “nyirik wohing dami kinukus” selama 40 hari 40 malam, dengan mantra:
“Salfa
llahu ‘alaihi wassalam bis ayar-ayar, akas mimis kandut, kita
tobat rambut, kita pasumbon talingan kita, gisig suh, braja ampuh,
sira nembaha marang ingsun, hining na’iyat sagedining, hining
ma’iyat sagedining, hining ma’iyat sagedining” *).
Sebagimana
telah diuraikan, mantra-mantra yang termuat dalam
naskah-naskah kuna di Keraton tersebar-sebar di berbagai
bagian isi naskah, dan umumnya tertulis dalam aksara Arab.
Penelitian yang tuntas, menurut pendapat saya, perlu dilakukan oleh
para ahli, bukan sekadar dengan transliterasi dan translasi ke
huruf Latin. Tetapi hendaknya dapat disusun sedemikian, sehingga
kita dapat menggali dan memahami maknanya. Siapa tahu kelak,
isinya bisa menjadi sumbangan dalam mengukuhkan jatidiri
bangsa ke depan.
SERAT CEBOLEK: SEBUAH ILUSTRASI
KARENA
akhir-akhir ini banyak menjadi wacana dalam komunitas Islam,
mungkin ada manfaatnya jika saya mengulas barang sekilas Serat Cebolek karya
Kiai Mutamakkin (yang tersimpan di perpustakaan
KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta dengan judul: “Suluk Cebolek Gedhe”). Konon, serat ini ditulis R. Ng. Yasadipura I ( 1729-1803 ) -yanf berdasarkan penelitian Riklefs, olehnya diragukan sebagai karya Yasadipura .
Serat ini mengisahkan pertentangan antara ajaran Islam “ortodoks” dengan Islam “heterodoks” (“menyimpang”).
Islam ortodoks diwakili oleh Ketib Anom, ahli agama dari Kudus,
sernentara Islam heterodoks diwakili Kiai Mutamakkin dari
desa Cebolek, Tuban. Dikisahkan, bahwa Kiai
Mutamakkin telah mengajarkan “ilmu hakikat” kepada khalayak
ramai, ajaran yang dianggap sesat oleh para ulama. Ketib Anom
melaporkan hal ini kepada pihak Kerajan Kartasura di Solo. Pengadilan
kemudian dilakukan atas diri Kiai Mutamakkin.
Kisah dalam Serat
ini, tampaknya lebih memihak para ulama yang mewakili ajaran
Islam ortodoks. Tetapi sebuah teks dari desa Kajen,
Pati,mengisahkan “serat” yang berbeda, di mana Kiai
Mutamakkin justru dipandang sebagai pihak yang benar. Kisah Kiai
Mutamakkin ini mewakili pola yang hampir “tipikal”
dalam sejarah Islam: pertentangan antara “ilmu lahir” dan
“ilmu batin”, ilmu hakikat dan ilmu syari’at, Islam ortodoks
dan Islam heterodoks, “serat resmi,’” dan “serat rakyat’. Apakah
ketegangan- ketegangan dalam tubuh Islam sekarang ini bisa
dilihat, antara lain, melalui kisah Kiai Mutamakkin ini?
Oleh
Gus Dur aliran Mutamakin ini disebutnya sebagai model
keempat, yaitu model Jawa yang menyatakan hubungan Islam dengan
kekuasaan, di mana memposisikan Islam bukan sebagai oposisi,
tetapi mengembangkan kultur Islam yang berbeda altematif)
terhadap pemahaman kekuasaan yang ada.
Sebagai bahan banding, ada baiknya jika kita membuka Serat “Sastra Gendhing” (Kesucian Jiwa) karya Sultan Agung, naskah yang lebih tua dari Serat Cebolek, yang antara lain memuat bait tembang Sinom:
“Pramila
gendhing yen bubrah, gugur sembahe mring Widdhi, Batal
wisesaning shalat, tanpa gawe ulah gendhing, Dene ngran
tembang gendhing, tuk ireng swara linuhung, Amuji asmane
Dhat, swara saking osik wadhi, Osik muiya entaring cipta-surasa “.
Sultan
Agung menegaskan” bahwa kesalahan orang dalam mempelajari agama Islam
kebanyakan terletak pada kecenderungan untuk mudah dimabukkan oleh arus
syariat. Diperingatkan olehnya, bahwa pedoman yang harns diingat-ingat
ialah:
“Syariat tanpa hakikat adalah kosong. Sebaliknya hakikat tanpa syariat menjadi batallah shalat seseorang”.
Jadi
hakikat dan syariat kedua-duanya penting. Meskipun
demikian, hakikatlah yang harus diutamakan, sebab memahami
hakikat lebih sukar daripada melihat syariat. Jika orang
mengutamakan syariat tetapi meninggalkan hakikat, berarti sarna
dengan
mengej ar kulit dan melupakan isi. Ibarat orang memakai baju
tetapi tak bernyawa. Demikianlah petunjuk Sultan Agung yang membekali
kita dalam ibadah.
Dalam terjemahan bebas, ungkapan di atas berarti demikian:
“Jika
syariat sembahyang tidak dituntun oleh kesucian jiwa, maka
batallah shalat seseorang. Dan tak ada perlunya orang memelihara
hidup kebatinan, apabila tidak berisi usaha mengagungkan Dhat Allah”.
Petunjuk Sultan Agung itu ada persamaannya dengan kritik Prof Dr. Ahmad Syalabi. Dalam bab yang berjudul .’Mempelajari raga tanpa mempelajari jiwa”,
sarjana-ulama Mesir dari Universitas Cairo itu mengecam keras
ulama-ulama Mesir abad-20, yang secara dangkal melihat semua segi
kehidupan beragama dari segi materiilnya saja .
SEBUAH PERENUNGAN
MANTRA
tergolong dalam ritual mistik kejawen, yang merupakan cara berpikir
fllosofis manusia Jawa tentang hidup, manusia, dunia
dan Tuhan. Sinkretisme, simbolisme dan sufisme dalam budaya
spiritual Jawa sering disebut falsafah hidup Jawa, sikap hidup
yang bertujuan mencari kesempurnan hidup melalui pangawikan (ngelmu) sangkan-paraning dumadi dan manunggaling kawula-Gusti .
Sri Susuhunan Paku Buwono V memberikan pesan spiritual dalam Serat Centhini, sebagai berikut:
“Aywa
lunga yen tan wruha, ingkang pinaranan ing purug, lawan sira aywa
nadhah, yen tan wruha rasanipun, aywa nganggo-anggo siraku, yen
tan wruh ranning busana, weruh atakon tuhu, bisane tetiron
nyata”.
Kutipan
ini memberikan wawasan batin terhadap sesama, agar berhati- hati
dalam menjalankan hidup. Diharap agar tahu betul dari mana dan akan ke
mana hidup kita. Dengan kata lain kita harus benar-benar memahami
landasan laku mistik kejawen, yaitu ngelmu sangkan-paraning dumadi.
Pesan serupa juga pemah diberikan Sunan Kalijaga yang tersimpul dalam tembang Dhandhanggula seperti di bawah ini II:
“Urip
iku ing donyo tan lami, upamane jebeng menyang pasar, tan
langgeng neng pasar bae, tan wurung nuli mantuk/ mri wismane
sangkane nguni ing mengko aja samar, sangkan-paranipun yen asale
sangkan-paran duk ing nguni aja nganti kesasar”.
Pesan
tembang di atas menghendaki bahwa hidup di dunia ini tidak lama. Ibarat
manusia pergi ke pasar, akan segera pulang ke rumah asalnya.
Karena itu jangan sampai ragu-ragu terhadap asal-usulnya, agar jangan
sampai salah jalan. Pesan ini menunjukkan, bahwa manusia hidup
di dunia sekadar “mampir ngombe”, karena suatu ketika akan kembali ke haribaan Tuhan, sebagaimana halnya tumpuan sangkan-paraning dumadi.
Bukankah kedua pesan dalam naskah kuna ini ada relevansinya dengan intro kalimat di awal tulisan ini:
“Sebaik-baik
limo adalah Berdoa kepada Allah SWT .”? Agar dengan demikian,
kita dapat menangkap makna terdalam dari ungkapan: “Ana-nira, Ana- Ningsun”, serta menjauhi sikap: “Sapa sira, Sapa lngsun”.
Jakarta, 2 September 2003
KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT,
Ttd.
HAMENGKU BUWONO X
silahkan anda Copy paste artikel diatas
tapi kalau anda tidak keberatan mohon cantumkan sumber dengan linkback ke blog ini.
terimakasih....!!!
0 komentar:
Posting Komentar