Rabu, 04 Januari 2012

PANTAI PARANGKUSUMO, KANJENG RATU KIDUL DAN PANEMBAHAN SENOPATI





AKHIR KEJAYAAN PAJANG…

Tahun 1584. Sesaat setelah Ki Ageng Pemanahan
meninggal, Ki Juru Martani menghadap Sultan Hadiwijaya, untuk memilih
siapa di antara enam putra pemanahan yang akan diangkat sebagai penerus
kerajaan Mataram yang baru saja dikembangkan saat babad alas mentaok.
Ki Ageng Pemanahan adalah keturunan Majapahit dari garis ayah dan
keturunan Nabi Muhammad dari garis ibu. Sementara Ki Juru Martani
adalah ipar dan penasehatnya.




Sultan
Hadiwijaya kemudian memilih Danang Sutawijaya, putra sulung Pemanahan
dan diberi gelar Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panotogomo. Sementara Ki
Juru Mertani diserahi tugas untuk menjadi penasehat Mataram dengan
gelar Adipati Mandaraka. Keduanya diizinkan untuk tidak usah sowan ke
Pajang selama satu tahun agar dapat konsentrasi membangun Mataram.
“Kalau sudah setahun, datanglah kemari jangan terlambat,” titah Sultan
Hadiwijaya.




Setelah
diangkat tersebut, itu berarti Sutawijaya yang sudah bergelar Senopati
Ing Ngalaga Sayidin Panotogomo alias Panembahan Senopati adalah Raja
Pertama Mataram. Setahun lamanya, Panembahan Senopati menata sedikit
demi sedikit kerajaan baru tersebut sehingga tiba saatnya dia sowan ke
Pajang (eks Demak) sebagai tanda “ngabekti”nya Mataram ke Pajang. Namun,
karena alasan khusus Sang Panembahan Senopati enggan sowan ke Pajang.
Sultan Hadiwijaya pun mulai curiga dan mengirim utusan terpercaya
Ngabehi Wuragil dan Ngabehi Wilamarta untuk mencermati perkembangan
Mataram.




Meskipun
sebagai utusan Raja, dua Ngabehi ini tetap andap asor dan turun dari
kuda lebih dulu ketika menemui Panembahan Senopati yang tetap duduk di
punggung kuda. Kalau dilihat dari segi etika, hal ini tentu tidak pantas
dan menunjukkan sikap merendahkan bahkan menantang tidak hanya utusan
itu tetapi juga yang mengutus. Dengan sopan, utusan Pajang menyampaikan
amanat Sultan Hadiwijaya bahwa Panembahan Senopati segera sowan
menghadap ke Pajang, tidak mengadakan jamuan pesta dan tidak berambut
gondrong.




Tetap
duduk di punggung kuda, Panembahan Senopati menjawab, “Sampaikan
kepada Kanjeng Sultan, saya tidak akan menghentikan pesta karena saya
masih suka, saya disuruh cukur lha wong ini rambut-rambut saya sendiri.
Saya diisurun menghadap ke Pajang ya mau saja asalkan Sultan
menghentikan kesukaannya mengambil isteri para abdinya,.”




Dua
utusan Pajang itu pun pulang dan melaporkan sebagai berikut bahwa
Panembahan Senopati segera menghadap dan baik-baik saja. Soal Mataram
sedang membangun tembok mengelilingi kerajaan dan sikap serta ucapan
menantang Raja Pajang tidak mereka laporkan.




Semuanya mengalir apa adanya sesuai dengan jalan dan kehendak sejarah…




PANEMBAHAN SENOPATI: SOSOK WASIS-WASKITA

Panembahan Senopati adalah sosok yang pandai menyerap
energi kekuasaan dan kekuatan alam semesta demi membangun kerajaan
Mataram. Mulai dari membina hubungan dengan penguasa Kedu dan Bagelen
di sisi barat Mataram. Termasuk membangun kesatrian yang berhasil
memiliki 1000 tentara pilih tanding dalam olah perang. Melihat gelagat
egoisme Panembahan Senopati yang berlebihan ini, Ki Juru Martani
menegur dan memberikan nasehat:




“Ada
tiga kesalahan yang kamu buat ngger… Kamu memusuhi Raja Pajang Kanjeng
Sultan yang tak lain orang tua dan gurumu. Saya malu karena kita yang
ada di kerajaan Mataram sepertinya tidak tahu membalas budi baiknya.
Bukankah kita telah diberi tanah dan wilayah untuk kita tempati dan kita
bangun ini? Saya minta ngger, sekarang mintalah kepada Allah dengan
teguh agar nanti bila Kanjeng Sultan sudah wafat, kamu bisa menggantikan
keratonnya. Tapi sekarang jangan sekali-kali memusuhi beliau. Justeru
sebaliknya, balaslah kebaikannya agar batinnya rela nanti kamu yang
menggantikan kedudukannya sebagai raja”




Panembahan
Senopati kemudian memenuhi petunjuk Ki Juru Mertani. Ia kemudian
berangkat ke Lipura untuk bertapa. Di sebuah tempat sepi, dia melihat
sebuah batu hitam mengkilat yang cucuk untuk dipakai meditasi. Batu
indah ini dikenal sebagai “Sela Gilang” dan di batu ini pula Panembahan
mendapatkan WAHYU KERATON, yaitu sebuah wisik gaib yang jelas dan
terang berbunyi: “KAMU AKAN MENJADI RAJA MATARAM SEJATI MENGALAHKAN
PAJANG DAN KERAJAAN-KERAJAAN LAIN, BEGITU JUGA DENGAN ANAK CUCUMU.
TETAPI CICITMU KELAK JUGA AKAN MENJADI AKHIR KERAJAAN MATARAM….”




Selesai
bertapa, Panembahan Senopati menghadap Ki Juru Mertani dan Ki Juru
mengatakan bahwa pekerjaan besar baru dimulai sekarang. Pekerjaan besar
yang dimaksud Ki Juru adalah mencari dukungan kekuatan adikodrati dari
alam gaib. Panembahan Senopati diminta pergi ke pantai segara kidul
(laut selatan) dan Ki Juru sendiri pergi ke gunung Merapi.




Di
mata seorang Ki Juru yang waskita ini, dua tempat ini dikuasai oleh
sosok penguasa di alamnya masing-masing. Penguasa samudra yaitu Kanjeng
Ratu Kidul dan penguasa gunung berapi yaitu Kyai Sapu Jagad dan kadang
juga muncul sosok bernama Kanjeng Ratu sekar Kedhaton. Selain itu masih
ada dua penguasa gaib lagi yang perlu untuk diminta bantuan agar
kerajaan Mataram ini bisa kuat yaitu Kanjeng Sunan Lawu di timur
kerajaan, dan Sang Hyang Pramoni dan di barat yang menguasai hutan
Krendhawahana.




MEDITASI DI PANTAI PARANGKUSUMO

Sejak dulu, pantai Parangkusumo cukup dikenal
kalangan mistikus. Pantai yang terletak di sebelah barat Pantai
Parangtritis yang kini ditandai dengan Bangunan Cepuri ini konon
merupakan titik dimana pintu gerbang Kerajaan Gaib Segara Kidul berada.
Bila anda melakukan meditasi di pinggir pantai menghadap ke laut maka
di kejauhan akan tampak Pintu Gerbang Kerajaan Segara Kidul terbuat
bahan berwarna emas dengan tinggi menjulang puluhan meter dari lautan.
Jadi bentangan pantai dari barat ke timur adalah alun-alun Kerajaan
Segara Kidul tersebut. Sebuah penampakan yang indah yang bisa dinikmati
oleh para pejalan spiritual.




Tiba
di pantai Parangkusumo, panembahan Senopati segera berjalan di
bebatuan karang di pantai. Di sebuah batu kecil dan menonjol, dia duduk
dan melakukan meditasi. Menyatukan semua pancaindera ke satu titik dan
menata batin untuk berdoa agar Tuhan Semesta Alam berkenan memberikan
bantuan.




Tuhan
tentu saja punya puluhan, ratusan, jutaan, milyaran cara untuk
membantu orang yang ingin ditolong-NYA. Salah satu cara itu adalah
mengutus Kanjeng Ratu Kidul untuk menemui Panembahan Senopati.
Sebagaimana hukum alam yang berlaku, bantuan dan pertolongan Tuhan ini
pastilah ada kisah dan cerita uniknya.




Panembahan
Senopati yang memang dikenal sakti ini memulai untuk bertapa. Laut
selatan yang semula bergelombang alamiah tiba-tiba menampakkan
keanehannya. Ombak laut bergulung-gulung semakin membesar. Dinginnya air
laut selatan sedikit demi sedikit berubah menjadi panas hingga
mendidih. Penghuni lautan pastilah terganggu. Ikan-ikan serta binatang
laut lainnya banyak yang mati akibat panasnya energi spiritual yang
terpancar dari batin Panembahan. Setiap Panembahan masuk ke lebih dalam
wilayah “NING” atau keheningan dan satu kulit batin terkelupas maka
satu kulit itu menjadi energi panas yang membakar alam sekitar. Proses
yang alamiah terjadi itu hampir sama persis saat seseorang melakukan
matek aji atau matek hizib dan mantra yang mengeluarkan hawa panas ke
lingkungan sekitarnya.




Para
prajurit dan punggawa kerajaan Segara Kidul kuwalahan membendung
energi panas yang terpancar dari tubuh Panembahan Senopati. Segala
kesaktian dan kekebalan ratusan ribuan makhluk halus ini tawar dan
membuat tubuh mereka melemas. Cukup berbahaya bila tidak dilakukan
pencegahan karena jagad lelembut dan jagad fisik laut selatan semakin
banyak yang tewas. Di saat yang genting itu, muncullah Kanjeng Ratu
Kidul.




Ternyata
begitu melihat penyebabnya semua ini adalah Panembahan Senopati yang
sedang “manekung” atau “maneges”, Kanjeng Ratu kemudian membangunkan
kesadaran Panembahan Senopati. Setelah berdialog, lahirlah sebuah
konsensus atau perjanjian gaib antar dua makhluk di dua dimensi yang
berbeda ini. Perjanjian gaib itu berbunyi: KANJENG RATU KIDUL AKAN
MENDUKUNG PENUH KEJAYAAN DAN KEMAKMURAN ANAK KETURUNAN PENGUASA MATARAM
BILA MEREKA SELALU SETIA DENGAN PERNIKAHAN MEREKA.




Jadi
dengan perjanjian tersebut, maka Para Raja Mataram sejak Panembahan
Senopati hingga saat ini harus menikah dengan Kanjeng Ratu Kidul dan
setia dengan perjanjian ini. Pernikahan ini juga secara filosofis bisa
diartikan sebagai kewajiban Raja-Raja Mataram untuk wajib nguri-uri atau
memelihara adat istiadat dan budaya Jawa karena ini sudah merupakan
perjanjian. Bila perjanjian ini dilanggar, maka Kanjeng Ratu Kidul
berpesan dirinya tidak akan menjamin lagi keamanan dan kesejahteraan
kerajaan Mataram. Sebab secara alamiah tanah Mataram memang terkenal
tanah yang sesungguhnya menyimpan potensi bencana. Bencana gempa bumi
akibat pergeseran-pergeseran lempeng bumi dan bencana gunung berapi.




Setelah
selesai bertemu dan mengadakan perjanjian dengan Kanjeng Ratu Kidul
maka Panembahan Senopati menyelesaikan meditasinya. Momentum selesainya
meditasi sang Panembahan ini adalah datangnya Sunan Kalijaga yang
mengijazahkan pusaka Kyai Tunggul Wulung untuk dimiliki Raja-Raja
Mataram secara turun temurun. Sunan Kalijaga akhirnya berpesan kepada
Panembahan Senopati jangan terlalu mengandalkan kesaktiannya. Tidak lupa
berdoa dan ikhlas menyerahkan hasil usahanya pada Tuhan Yang Maha
Kuasa.




BENDE KI BICAK DATANGKAN KANJENG RATU KIDUL

Bala bantuan pasukan gaib Kanjeng Ratu Kidul itu
dalam sejarah benar-benar terbukti. Suatu ketika Kerajaan Pajang
berkekuatan 10.000 orang yang dipimpin langsung Kanjeng Sultan
Hadiwijaya menggempur kerajaan Mataram berkekuatan 1000 orang dipimpin
Panembahan Senopati. Di wilayah Prambanan, kedua pasukan ini bertemu
dan terjadilah peperangan yang berat sebelah.




Menyadari
kekuatan pasukan Mataram yang kecil, Juru Martani mendapat wisik agar
menabuh bende Ki Bicak. Bende ini peninggalan Ki Ageng Sela. (Bende ini
pun ada sejarahnya. Konon sewaktu menanggap wayang dengan dalang Ki
Bicak, Ki Ageng Sela jatuh hati pada isteri sang dalang. Ki Ageng
kemudian membunuh Ki Bicak dan mengambil usteri serta gamelan termasuk
bende. Menurut Sunan Kalijaga, bende itu nanti akan menjadi pusaka
Keraton Mataram dan bila bende itu dibunyikan maka bunyinya menggelegar
memenuhi angkasa dan penabuh akan menang perang.)




Suara
Bende yang ditabuh menggelegar ini pula yang kemudian terdengar oleh
Kanjeng Ratu Kidul. Itu tanda bahwa Mataram butuh bantuan sehingga
Kanjeng Ratu beserta puluhan ribu bala bantuannya datang menyerang
pasukan Pajang. Sementara penguasa gunung Merapi yaitu Kyai Sapu Jagad
membuka kunci kawah gunung tersebut. Gunung Merapi meletus di tengah
kegelapan, hujan lebat, banjir dan gempa bumi. Bala bantuan gaib yang
berpadu dengan kekuatan alam yang hebat itulah yang membuat pasukan
pajang berkekuatan lebih besar itu morat marit. Sultan Hadiwijaya sosok
yang sakti mandraguna —yang mudanya disebut Jaka Tingkir dan punya
guru sakti yaitu Ki Ageng Sela—ini pun harus terjatuh dari gajah
tunggangannya dan harus melarikan diri dalam keadaan terluka yang parah.




Panembahan
Senopati terus mengejar dengan 40 orang pasukan khususnya hingga masuk
ke wilayah Pajang. Tahu kekuatan Panembahan yang tidak seberapa itu,
pasukan Pajang yang dipimpin Benawa, anak Sultan Hadiwijaya segera siap
melakukan penghadangan dan penumpasan. Namun Benawa diwejang sang ayah
agar tidak membunuh Panembahan Senopati




“Jangan
berani terhadap kakangmu (panembahan senopati), karena kalau aku sudah
wafat maka kakangmu itu yang menjadi penggantiku. Rukun dan
berbaktilah padanya” ujar Sultan Hadiwijaya yang kemudian menghembuskan
nafas terakhirnya. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1587 atau tiga
tahun setelah ayah Panembahan Senopati, Ki Ageng Pemanahan wafat.




Memang
sudah menjadi takdir bahwa Sultan Hadiwijaya wafat pada tahun itu.
Namun konon salah satu lantaran sebabnya adalah berikut ini. Ki Juru
Taman, seorang raja Jin abdi Panembahan Senopati menawarkan jasa untuk
membunuh Sultan Hadiwijaya. Mendengar tawaran itu, Panembahan Senopati
berkata: “Saya tidak punya niat seperti itu, tapi jika engkau ingin
membunuhnya maka terserah dan saya tidak memberi perintah padamu tapi
juga tidak melarangmu!”




Tahu
dan tanggap sasmita narendra apa yang diinginkan sang Panembahan, Raja
Jin Ki Juru Taman segera melakukan aksi membunuh Sultan Hadiwijaya
dengan kesaktiannya. Jenazahnya dimakamkan oleh masyarakat di Makam Kota
Gede, yang berjajar dengan Makam Nyai Ageng Enis, ibu Ki Ageng
Pemanahan dan Pangeran Jayaprana— leluhur Raja-Raja Surakarta dan
Yogyakarta.









silahkan anda Copy paste artikel diatas
tapi kalau anda tidak keberatan mohon cantumkan sumber dengan linkback ke blog ini.
terimakasih....!!!

0 komentar:

Posting Komentar