Sabtu, 05 Maret 2011

Merapi Pernah Ratusan Tahun Mengubur Borobudur






Merapi pernah Ratusan Tahun Mengubur Borobudur


TRIBUNNEWS.COM/HASAN SAKRI GHOZALI


Pasir
dan abu vulkanik Merapi telah merusakkan Candi Borobudur. Ketebalan
pasir dan abu rata-rata antara 1-2 cm. Ditulis oleh Tribunner, Nugroho
Trisnu Brata














YOGYAKARTA-
Jangan heran bila letusan gunung Merapi sejak 26 Oktober hingga 11
November 2010 masih berlangsung ini abunya menyebar hingga ke DIY,
Jateng dan Jawa Barat.



Tentu saja termasuk dua candi terkenal di dunia yaitu Borobudur di
Magelang dan candi Prambanan di Klaten tak luput dari siraman abu
vulkanik dari Merapi. Bahkan dahulu Merapi pernah mengubur candi
Bodobudur dan Prambanan selama ratusan tahun.



Gunung Merapi menyemburkan awan panas (wedhus gembel) yang menggulung
sebagian desa di bawahnya. Kinahrejo dan Kaliadem adalah dua dusun yang
hancur diterjang awan panas bercampur kerikil, pasir, dan abu yang
panasnya mencapai lebih 600 derajat Celcius.



Mas Penewu Surakso Hargo atau Mbah Maridjan, ikon kearifan lokal, abdi
dalem keraton di gunung itu, meninggal diterjang awan panas dalam posisi
sujud, karena dia sedang shalat magrib.



Gunung Merapi merupakan gunung superaktif dan memiliki karakter ”aneh”
dibanding gunung berapi lain di dunia. Berkali-kali ia memuntahkan lahar
yang didahului gempa bumi.



Dahulu, kerajaan Mataram Kuno (Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra)
luluh lantak oleh amukannya sehingga Raja Mpu Sendok memindahkan pusat
kerajaan ke Jawa Timur. Candi Borobudur dan Candi Prambanan puncak karya
budaya pada masa itu pun terkubur abu dan pasir selama ratusan tahun.



Ketika kerajaan Mataram Baru (Islam) didirikan oleh Panembahan Senopati,
keberadaan Merapi pun terasa penting. Kosmologi kejawen yang dibangun
Panembahan Senopati mengakomodasi dunia gaib penguasa Gunung Merapi dan
penguasa Laut Selatan.



Mataram Islam yang berada di dataran subur antara Gunung Merapi dan Laut
Selatan mendapat dukungan Ratu Kidul, penguasa laut selatan dan Syeh
Jumadil Qubro, penguasa gunung Merapi.



Awan panas Merapi yang pada 26 Oktober lalu datang pada waktu magrib
mengingatkan orang pada kategori waktu masyarakat Jawa: candhik olo,
sepenggal waktu transisi siang ke malam yang ”berbahaya”.



Pada waktu candhik olo anak-anak kecil harus berhenti bermain dan pulang
ke rumah, orang yang sedang bekerja harus berhenti, orang yang memanjat
pohon harus turun, orang yang dalam perjalanan harus berhenti, dan
tidak boleh tidur. Ini untuk menghindari malapetaka yang bisa menimpa
manusia.



Harta Pusaka



Dalam perspektif ethno-ecology masyarakat lereng Merapi memiliki
kearifan lokal (local wisdom) dalam memprediksi bencana yang bisa
datang. Lahar adalah kategori bahwa Merapi beraktivitas seperti
sehari-hari dan kondisi aman.



Wedhus gembel adalah kategori bahaya tahap awal. Wedhus gembel adalah
awan panas bercampur abu, pasir, dan kerikil panas yang bisa
menghanguskan dan membakar apa saja yang dia lewati. Awan panas ini jika
dilihat dari jauh maka bentuknya seperti bulu kambing (wedhus) gembel .



Njebluk (meletus) adalah kategori bahaya tahap lanjut, kondisi sangat
kritis sehingga semua harus mengungsi. Fase njebluk ini dalam rentang
waktu yang lama, belum tentu dalam seumur hidup orang bisa mengalami
fase Merapi njebluk ini, yakni sewaktu Merapi memuntahkan isi perutnya
secara eksplosif.



Dua hari setelah erupsi Merapi ternyata sebagian masyarakat telah
kembali menengok rumah dan harta bendanya. Masyarakat pun kembali enggan
untuk direlokasi ke tempat yang lebih aman menurut pemerintah.



Masyarakat tidak mau direlokasi atau ikut transmigrasi karena memiliki
pemahaman bahwa pertama; tanah warisan orang tua adalah harta pusaka
yang harus dilindungi dan dipelihara. Falsafah ini terungkap dalam
kalimat sadumuk bathuk senyari bumi tak bela nganti mati (bahwa tanah
adalah simbol harga diri, harus dipertahankan walau sampai mati
sekalipun).



Kedua; orang Jawa sangat terikat oleh relasi terhadap makam nenek
moyang. Secara periodik orang Jawa mengunjungi, merawat , dan nyekar
makam orang tua dan leluhur. Ini adalah tanda bakti mereka pada leluhur.
Mengunjungi makam leluhur juga mengukuhkan keberadaan mereka sebagai
orang Jawa. Jika orang Jawa tidak tahu atau tidak memiliki makam
leluhur, maka hidup mereka menjadi hampa makna.



Masyarakat lereng Merapi sedang terluka karena kehilangan sanak saudara
dan harta benda. Pemerintah jangan membuat luka kedua dengan
mewacanakan, apalagi memaksa, masyarakat direlokasi atau
ditransmigrasikan. Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat harus
diperhatikan. (*)



Nugroho Trisnu Brata MHum

Dosen di Jurusan Sosiologi dan Antropologi

Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang

Mahasiswa program S3 Antropologi UGM 




source: http://www.tribunnews.com/2010/11/11/merapi-pernah-ratusan-tahun-mengubur-borobudur

0 komentar:

Posting Komentar