12
Februari 2012. München dikuasai suhu -13°C. Dalam kebekuan itu, hal
ternyaman yang bisa dilakukan adalah berdiam di muka perapian.
Tapi,
16 ribu orang muda dengan air muka cemas dan poster di genggaman justru
menantang dingin di jalanan utama kota. Sore itu, ada soal lebih besar
yang lebih patut dilakukan dari sekadar badai salju: ancaman terhadap
kebebasan mendapatkan informasi dari Internet.
München
bukan satu-satunya kota yang dipenuhi pengunjuk rasa. Protes merebak
nyaris di seluruh kota-kota berpengaruh Eropa seperti London, Helsinki,
Warsawa, Paris, Wina, Sofia, Praha, untuk menyebut saja beberapa.
“Ganyang
sensor a la Bung Besar,” kata sebuah poster di Warsawa. Bung Besar,
istilah temuan penulis Inggris George Orwell, mengacu kepada otoritas
yang menerapkan kontrol berlebihan kepada warga. Negara meningkatkan
pengawasan kepada warga dengan dalih menjaga keamanan bersama.
Demonstrasi
besar pada akhir pekan lalu itu didukung oleh puluhan ribu pengunjuk
rasa. Kemarahan para demonstran ditujukan pada satu hal belaka:
digodoknya perjanjian internasional yang dikhawatirkan dapat mengekang
kebebasan mengakses informasi dari Internet.
Di Eropa, traktat itu bernama ACTA (Anti-Counterfeiting Trade Agreement).
Kesepakatan diprakarsai oleh Amerika Serikat dan Jepang dan mengatur
hal-ihwal perlindungan hak cipta mulai dari musik, film, hingga
obat-obatan di seluruh dunia. Tahun lalu, Tokyo menjadi tempat lahir
kesepakatan itu.
Awalnya,
ACTA dimaksudkan untuk mengakhiri perdagangan obat-obatan palsu yang
membahayakan. Di bawah tekanan Amerika, UU anti pemalsuan tersebut
meluas dengan pemberantasan pembajakan online. Protes itu sengaja
digelar menentang ancaman terhadap kebebasan internet, antara lain soal
pelarangan mengunggah serta kemungkinan provider, mesin pencari dan
pengguna dituntut ke pengadilan.
ACTA
sedang dalam tahap menunggu ratifikasi dari beberapa negara. Tapi,
perlawanan keras dari para pengguna Internet telah mendorong sejumlah
negara Uni Eropa seperti Polandia, Republik Cek, dan Slowakia, menunda
proses ratifikasi.
"Penundaan
ratifikasi itu kemenangan. Tapi, kami tak boleh berlebihan," kata Wakil
Ketua Pirate Party Republik Cek. Pirate Party ikut dalam pemilihan
umum pada Mei 2010 dan mendapatkan 0.8% suara.
Bahkan,
Jerman, yang sebelumnya telah menjamin akan turut menandatangani ACTA,
akhirnya memutuskan membatalkan niatnya. Ini merupakan kemajuan besar
sebab hingga 10 Februari 2012, sebanyak 22 dari 27 negara Uni Eropa
telah jadi meneken perjanjian itu. Di luar Uni Eropa, peratifikasi
perjanjian itu adalah Australia, Kanada, Meksiko, Maroko, Selandia Baru,
Jepang, Singapura, Korea Selatan, Swiss, dan Amerika Serikat.
Namun, Parlemen Eropa tetap akan mendiskusikan legislasi itu pada awal Juni tahun ini.
Gerakan
anti-ACTA tak hanya mendapatkan dukungan dari jalanan. Di ranah maya
pun medan pertempuran digelar, dengan tongkat komando dipegang oleh
kelompok Anonymous.
Para aktivis pemberontak dunia maya yang tergabung dalam Anonymous
telah menjalankan beberapa aksi mendukung gerakan anti-ACTA. Mereka
menyatakan bertanggung jawab terhadap peretasan sejumlah laman penting,
termasuk yang dimiliki oleh perdana menteri Polandia.
Pada
aksi protes di London, Loz Kaye, pemimpin Pirate Party Inggris,
menegaskan bahwa tindakan Anonymous akan membahayakan gerakan anti-ACTA.
Kelompok Anonymous
terbentuk pada tahun 2003. Sejak 2008, aktivitas mereka kian erat
berkaitan dengan peretasan yang ditujukan sebagai aksi protes atau
tindakan lain yang berhubungan dengan promosi kebebasan Internet dan
berpendapat.
Dalam gerakan anti-ACTA itu, kecemasan terbesar terhadap diberlakukannya ACTA adalah terancamnya kebebasan.
"Mengorbankan
kebebasan hanya untuk melempangkan jalan melindungi hak cipta sungguh
tak dapat diterima," kata pemimpin Partai Hijau di Jerman, Thomas
Pfeiffer. Ketakutan Pfeiffer masuk akal sebab Jerman, dan banyak negara
Eropa Timur, punya trauma sejarah terhadap sensor yang pernah begitu
kuat membelenggu mereka di masa lalu.
"Kami
tak mau ACTA berlaku. Kami punya hukum sendiri. Kami tak butuh
kesepakatan internasional," dengus seorang pengunjuk rasa di Sofia,
Yanko Petrov.
Bentuk Lain SOPA dan PIPA
Merebaknya
protes atas ACTA di Eropa mengingatkan publik tentang Rancangan UU
sejenis yang sempat meramaikan Amerika Serikat, yakni Rancangan
Undang-Undang Anti Pembajakan Online (SOPA) dan RUU Perlindungan
Properti Intelektual (PIPA). Aturan yang diajukan oleh anggota Kongres
asal Texas dari Partai Republik, Lamar Smith, itu dianggap berpotensi
menjadi alat sensor di dunia daring (dalam jaringan).
Tapi, Lamar Smith kemudian menarik SOPA.
"Saya
telah mendengar kritik-kritik di media secara serius. Saya juga
mencermati legislasi yang akan diajukan untuk mengatasi permasalahan
pembajakan di internet," ucap Smith, dalam pernyataan pers.
Menurut
Lamar Smith, perlu dilakukan pendekatan terbaik untuk mengatasi
permasalah pembajakan, yang mencuri produk dan inovasi Amerika.
"Industri properti intelektual Amerika telah menyediakan 19 juta
pekerjaan bergaji besar dan menghasilkan lebih dari 60 persen ekspor
Amerika," jelas Smith.
Smith
juga memberikan pemaparan, pembajakan online menyebabkan Amerika rugi
sekitar US$ 100 miliar tiap tahun, dan hilangnya ribuan pekerjaan.
Karena itu Smith merasakan perlu adanya aturan untuk melindungi aksi
pembajakan yang dianggapnya sama seperti pencurian.
Sejumlah
perusahaan memang secara terbuka melakukan protes terhadap SOPA.
Wikipedia menutup layanan selama satu hari. Google pun melindungi
logonya dengan tanda hitam sebagai simbol bahaya sensor di Internet.
Menurut mereka, SOPA merupakan bentuk sensor yang mengancam masa depan
internet, termasuk keterbukaan arus informasi.
SOPA
dan PIPA memungkinkan Departemen Kehakiman AS untuk meminta polisi
menutup situs yang menyediakan tautan ke sejumlah situs yang dianggap
memiliki konten pembajakan. (Huffington Post | BBC | Mashable | Reuters)
silahkan anda Copy paste artikel diatas
tapi kalau anda tidak keberatan cantumkan sumber dengan linkback ke blog ini.
terimakasih....!!!
0 komentar:
Posting Komentar