Rabu, 09 Mei 2012

Ketika semuanya latah “COURTESY OF YOUTUBE”

Entah sejak kapan ini dimulai. Tiba tiba saja, Youtube menjadi “dermawan” yang tulus ikhlas membagi–bagikan koleksi videonya yang berukuran raksasa (sekitar tujuh ratus juta video) untuk digunakan oleh televisi kita. Gratis tentunya. Entah kompak entah latah, tiba tiba saja youtube dijadikan sumber utama untuk mencari konten acara televisi.

Bermunculanlah acara acara televisi yang isinya tak lebih dari menayangkan video-video pendek dengan embel-embel “courtesy of youtube”. Mayoritas acara ini mengemasnya dengan berbagai tema. Biasanya tentang kejadian atau fenomena unik yang sebenarnya bisa kita tonton di youtube secara langsung.
Malas. Hanya ini yang bisa saya bilang. Betul-betul malas sekali dan sama sekali tidak adil. Sebelumnya saa jelaskan dulu arti Courtesy dalam bahasa aslinya yang berarti :

1. “behavior marked by polished manners or respect for others” atau
2. “consideration, cooperation, and generosity in providing something (as a gift or privilege); also : agency, means —used chiefly in the phrases through the courtesy of or by courtesy of or sometimes simply courtesy of”

Pada definisi kedua, jelas terlihat bahwa kata “courtesy” berarti “kemauan, kerjasama dan kedermawanan untuk menyediakan sesuatu (sebagai hadiah atau keistimewaan). Artinya, kalau ada istilah “courtesy of youtube”, seharusnya ini berarti bahwa Youtube mempersilahkan atau memberikan hak untuk menggunakan setiap video yang dimilikinya. Dengan logika sederhana saja, untuk mendapatkan hak menyiarkan sesuatu, harus ada izin terlebih dahulu. Jadi bisakah kita menganggap bahwa Stasiun televisi kita telah mendapatkan izin dari pengelola youtube dan apakah memang seperti itu kenyataannya?

Melihat begitu seringnya televisi kita menggunakan video yang “dimiliki” Youtube (karena belum jelas juga siapa yang sebenarnya memiliki) dan dengan seenaknya mencantumkan “courtesy of youtube”, rasa-rasanya agak sulit untuk menganggap bahwa stasiun televisi sudah meminta izin terlebih dahulu. Karena dalam situsnya, pengelola youtube sudah menetapkan bahwa :

“You agree not to distribute in any medium any part of the Service or the Content without YouTube’s prior written authorization, unless YouTube makes available the means for such distribution through functionality offered by the Service (such as the Embeddable Player)”

Mari kita pelototi ulang kalimat ini : “You agree not to distribute in any medium any part the Service or the Content without YouTube’s prior written authorization” yang artinya kurang lebih : bahwa kita setuju untuk tidak mendistribusikan dalam segala media setiap bagian dari pelayanan atau konten tanpa persetujuan tertulis dari youtube sebelumnya. Harap diingat youtube sendiri tidak memiliki hak penuh terhadap video yang diunggah (upload) oleh penggunanya. Dia hanya memiliki hak untuk menayangkan yang sewaktu waktu bisa dicabut oleh pemiliknya. Hal ini biasa terjadi untuk video klip, lagu, materi promosi film, film itu sendiri dan lainnya. Saya pernah menemukan satu link youtube dari ayumi Hamasaki yang tidak lagi aktif karena perusahaan pemiliknya (avex entertainment) melaporkan klaim hak cipta kepada pengelola youtube.

Kembali ke pertanyaan awal kita? Apakah youtube sudah memberikan izin tertulis kepada pengelola televisi di indonesia untuk menggunakan videonya. Kalau sudah, izin tersebut dikeluarkan untuk penggunaan video yang mana? Karena setiap video dalam youtube memiliki hak cipta dan hak tayangnya sendiri. Dengan begitu maraknya perilaku plagiasi pada industri pertelevisian kita, tampaknya kita tidak perlu berpanjang-panjang hanya untuk menjawab pertanyaan ini (sampai detik ini saya masih mengutuk “sinetron catatan harian Nayla”yang mencontek habis tanpa etika dorama “one litre of tears” yang menceritakan perjuangan gadis yang mengidap penyakit syaraf).

Matikah kreatifitas kalangan industri pertelevisian kita? Kita begitu gelagapan ketika sinetron upin ipin yang begitu kreatif meraih rating yang begitu tinggi di Indonesia. Jika mau jujur, tayangan-tayangan kreatif yang diimpor dari luar justru menjadi penyelamat pertelevisian dari sekedar rangkaian tayangan sampah (sampah karena isinya hanya politik busuk, debat kusir, perilaku koruptif, sinetron lebay, gosip murahan, kekerasan, sex, budaya hedonis dan konsumtif dan sekarang di tambah oleh “courtesy of youtube”). Saya pribadi hanya menggemari “shaun the sheep”, “spongebob” dan “oscar’s oasis”, selebihnya lupakan saja. Hidup sudah cukup penat hanya untuk ditambah tontonan debat kusir politisi dan penegak hukum.

Atau sudah begitu malaskah para tim kreatif stasiun televisi untuk membuat tayangan yang berkualitas dan menarik penonton. Lebih jauh lagi, sudah matikan budaya kita untuk berkreasi dan mencipta?

Kembali ke coutesy of youtube. Melihat rating tayangan coutesy of youtube yang lumayan tinggi. Saya berfikir apakah televisi sudah memberikan hak atau kompensasi kepada pemilik video yang sesungguhnya. Begini ceritanya, bukankah televisi mendapatkan keuntungan dari iklan yang masuk? Jika ya dan memang pastinya begitu (jika tidak, tidak mungkin acara sejenis akan berjamuran), bukankah ada sebagian dari keuntungan tersebut yang menjadi hak dari pemilik video yang menjadi bahan tayangan acara tersebut?

Contohnya begini, katakanlah saya mengupload video tentang kejadian lucu di youtube. Secara resmi video tersebut adalah milik saya, dengan mengupload video itu melalui youtube, saya memberi hak kepada youtube untuk menyiarkannya. Youtube tidak berhak untuk mengedit video saya atau menggunakannya untuk kepentingan komersil tanpa sepengetahuan atau seizin saya. Ketika katakanlah acara tertentu menggunakan video saya, bukankan seharusnya dia mencantumkan “courtesy of youtube and firman syafei”. Tentunya setelah persetujuan saya. Jika tidak, Bukankah ini plagiasi? dan bukankah saya seharusnya mendapatkan kompensasi terhadap penggunaan video saya?
Pemilik video harus susah payah merekam, mengkonversi ke format yang sesuai dan harus meluangkan waktu, biaya dan energi untuk mengupload ke internet. Dilain pihak televisi tanpa sepengetahuan pemiliknya, tinggal mendownload, mengedit dan menjadikannya material untuk mendatangkan keuntungan. Apakah ini adil? (harap dicatat, saya belum membahas lagu-lagu yang sering dipakai untuk backsound).

Keadilan dalam hak cipta memang lumayan sulit di indonesia ini, Kelompok lawak warkop yang film film nya sering ditayangkan berulang ulang ternyata tidak mendapatkan royalti, begitu pula grup musik BIMBO yang lagu lagunya sering dicatut. Jika artis yang demikian dihormati saja diperlakukan seperti itu, apalagi orang biasa yang sekedar punya video bagus.

Saya ingin mengutip tulisan Wilson Sitorus yang membahas tema yang serupa. Tulisan ini dimuat pada situs Tempo Online tanggal 16 Mei 2011, tulisan lengkapnya dapat
dikunjungi disini. Ini yang beliau tulis:

“Begitulah, penggunaan potongan gambar dari YouTube seyogianya hanya sebagai ilustrasi untuk memperkuat tayangan. Bukan menjadikannya sebagai sumber berita dengan agenda setting yang sudah disesuaikan dengan selera pemirsa. Bukan juga mengkomersialkannya, karena konten itu punya konsekuensi pada hak atas kekayaan intelektual (HAKI)”

sumber

0 komentar:

Posting Komentar