Minggu, 04 Desember 2011

apa itu bulan suro ?


 



Suro atau juga ditulis dengan Sura adalah bulan pertama dalam
penanggalan jawa. Sebuah sistem kalender yang diperkenalkan oleh Mataram
Islam. Tepatnya oleh Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau yang
bernama Arab Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram.



Sebelum
Sultan Agung berkuasa, awalnya, hingga 1633 M masyarakat Jawa
menggunakan sistem penanggalan berdasarkan pergerakan Matahari.
Penanggalan Matahari dikenal sebagai Saka Hindu Jawa, meskipun konsep
tahun Saka sendiri bermula dari sebuah kerajaan di India.



Tahun
Saka Hindu 1555, bertepatan dengan tahun 1933 M, saat itu Sultan Agung
mengganti konsep dasar sistem penanggalan Matahari menjadi sistem Bulan.
Perubahan sistem penanggalan dapat dibaca dalam buku “Primbon Adji Çaka
Manak Pawukon 1000 Taun” yang ditulis dalam bahasa Jawa.

Dari naskah
tersebut diketahui bahwa Sri Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo mengubah
sistem penanggalan yang digunakan, dari sistem syamsiyah (Matahari)
menjadi qamariyah (Bulan). Perubahan penanggalan berlaku untuk seluruh
Pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, karena tidak termasuk daerah
Mataram.



Perubahan sistem penanggalan dilakukan hari Jumat Legi,
saat pergantian tahun baru Saka 1555 yang ketika itu bertepatan dengan
tahun baru Hijriah tanggal 1 Muharam 1043 H dan 08 Juli 1633M.
Pergantian sistem penanggalan tidak mengganti hitungan tahun Saka 1555
yang sedang berjalan menjadi tahun 1, melainkan meneruskannya. Hitungan
tahun tersebut berlangsung hingga saat ini. Maka dari itu wajar jika
bulan dalam kalender Jawa bersamaan dengan kalender Hijriyah secara
global.



Asal Kata Suro



Banyak orang
salah sangka tentang asal muasal kata suro. Beberapa kalangan mengira
bahwa asal kata suro berasal dari bahasa Arab dengan pengejaan yang sama
yaitu “syuro” yang berarti musyawarah. Ada juga sebagian yang
berpendapat bahwa kata suro memang berasal dari bahasa Jawa suro yang
berarti berani. Tapi jawaban tersahih atas hal ini adalah bahwa kata
suro dalam bulan suro berasal dari bahasa Arab yaitu asyuro yang berarti
hari kesepuluh. Hari kesepuluh bulan Muharram dalam Islam memiliki arti
yang sangat penting terutama karena ada khabar dari Nabi Muhammad SAW
yang menyebutkan atasnya. Terutama tentang kisah diselamatkan Musa AS
beserta kaumnya dari kejaran Fir’aun. Hari itu adalah hari asyuro. Atas
hal itu jugalah kemudian Musa dan umat Yahudi melakukan puasa atasnya.
Kemulian asyuro juga bisa terbaca dari hadist nabi:

Aku mendengar
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Hari ini adalah hari
‘asyura. Allah tidak mewajibkan atas kalian berpuasa padanya, tetapi Aku
berpuasa, maka barang siapa yang ingin berpuasa, maka berpuasalah. Dan
barang siapa yang ingin berbuka (tidak berpuasa) maka berbukalah.


Suro; Jawa, Yahudi, Syiah dan Sunni



Tradisi
merayakan Suro di Jawa biasanya dilakukan dengan beberapa cara. Keraton
Yogyakarta dan Surakarta biasanya melakukan Kirab Suro. Kirab ini
dilakukan setelah dilakukan jamasan (memandikan) benda pusaka pada malam
harinya. Kirab ini biasanya dilakukan dengan cara berkeliling kota
sebelum kemudian ditaruh kembali ke tempat benda pusaka disimpan.
Sedangkan rakyat kecil biasanya melakukan mandi beramai-ramai dengan
cara mendatangi pantai, sungai atau danau kecil. Biasanya dilakukan
menjelang atau sesudah mengadakan selametan atau bancaan di tepi pantai,
sungai atau danau kecil yang akan dibuat mandi. Hal ini dilakukan
sebagai simbol penyucian diri dari segala dosa dengan harapan dosa yang
melekat di badan bisa ikut luntur saat air disiramkan ke tubuh. Walau
ditenggarai bahwa tradisi mandi suro ini adalah warisan budaya hindu
yang pernah melekat pada masyarakat Jawa akan tetapi tetap bisa diterima
dengan modifikasi niat dan tata cara yang disesuaikan dengan ajaran
Islam.



Sedangkan para raja atau pembesar Jawa biasanya
melanjutkan dengan puasa hingga hari ke sepuluh dari Bulan Suro. Budaya
ini konon diwarisi dari para raja terdahulu yang meminpin keraton di
daerah mataraman.



Akan tetapi tradisi Asyuro di dunia biasanya
identik dengan kaum Syiah. Pada hari Asyuro umat Syiah akan melakukan
pawai atau melakukan ziarah secara massal ke makam imam-imam atau tokoh
yang mereka keramatkan. Selain itu mereka juga mempunyai tradisi
menyakiti dirinya sendiri dengan cemeti atau benda lainnya sebagai tanda
bersedih atas terbunuhnya Sayyidina Husein pada tanggal sepuluh Suro
atau Muharram lebih dari 1400 tahun yang lalu oleh tentara Yazid bin
Mu’awiyah karena alasan kekuasaan.



Sedangkan umat Sunni kecuali
yang bermadhab Wahabi memperingati hari ke sepuluh dari bulan Muharram
tersebut karena ada perintah Nabi Muhammad lewat hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari, seorang imam terbesar dalam khazanah periwayatan
hadis dalam dunia Islam.

Salah satu hadist tersebut ialah hadist dari Ibnu Abbas yang berkata, “Nabi
datang ke Madinah dan ketika orang Yahudi berpuasa pada hari Asyuro
mereka berkata hari ini adalah hari dimana Musa bebas dari Fir’aun. Maka
Nabi berkata kepada para sahabatnya, kalian lebih berhak terhadap Musa
daripada mereka, maka dari itu berpuasalah!”




Hadis ini
adalah sebagai salah satu landasan bagi peringatan Asyuro yang diadakan
oleh umat Muslim Sunni di seluruh dunia. Sebagian Muslim Jawa biasanya
menambahkan dengan bubur Sura yaitu bubur ketan putih dengan gula merah
di atasnya.



Hadis di atas juga menandaskan bahwa hari Asyuro
telah dirayakan sejak sebelum Islam datang yaitu dirayakan oleh orang
Yahudi, para pengikut Nabi Musa.



Jika Yerussalem (Bait al-salam)
disucikan oleh umat Yahudi, umat Kristiani dan umat Islam. Maka hari
Asyuro disucikan oleh umat Yahudi, muslim syiah dan muslim sunni. Wallahu a’lam.








silahkan anda Copy paste artikel diatas
tapi kalau anda tidak keberatan mohon cantumkan sumber dengan linkback ke blog ini.
terimakasih....!!!

0 komentar:

Posting Komentar